Dalam satu perjalanan menuju kota Bodgaya, tempat Sang Buddha mencapai pencerahan, salah satu hal unik yang dapat kita jumpai adalah kalimat yang tertulis di belakang mobil pengangkut barang di India. Sepanjang jalan menuju Bodgaya dari kota Varanashi, semua truk menempatkan tulisan yang kurang lebih isi kalimatnya berseru "bunyikan klakson" seperti "blow your horn", "horn please", "horn me" dan kalimat sejenis lainnya. Sekilas mungkin hal tersebut bukanlah sesuatu yang penting untuk dibahas. Kalimat tersebut seolah hanya berupa sindirin supir truk bagi pengemudi di India yang sering sekali bising menyembunyikan klakson saat di jalan raya.
Namun sebenarnya kalimat "Horn Me Please" diyakini merupakan tradisi peninggalan Perang Dunia II, saat seluruh dunia kekurangan minyak sehingga truk - truk yang ada didayagunakan dengan diisi sampai penuh minyak tanah. Mengingat minyak tanah membuat truk mudah terbakar dan rawan meledak jika terjadi kecelakaan kecil, maka disiasati dengan cara bagian belakang truk dicat "Bunyikan klakson, penuh minyak tanah" untuk memperingatkan pengemudi menjaga jarak.
Dalam menjalankan kehidupan, diri kita membawa potensi besar ibarat minyak tanah yang dibawa dalam truk yang dapat dikatakan merepresentasikan diri kita. Jika truk alias diri kita berhasil melewati rintangan selama perjalanan maka kita akan mendapatkan kebahagiaan tak terhingga dan tidak menyebabkan penderitaan bagi makhluk yang kita lewati selama perjalanan.
Bunyi klakson dapat diibaratkan kesadaran diri yang harusnya senantiasa menjaga pikiran tetap terkendali. Sehingga setiap ada sesuatu yang kurang tepat, kesadaran diri senantiasa berjuang melonceng agar pikiran kita kembali terjaga. Kalimat lonceng kesadaran "bunyikan klakson" sepanjang perjalanan di Bodhgaya, tempat petapa Gotama mencapai Pencerahan, memberikan momen yang tepat bagi kita untuk bisa merenungkan bahwa Bodhisatta mampu mencapai pencerahan dengan penuh perjuangan. Sebenarnya menjadi Buddha bukanlah hanya bisa dicapai oleh petapa Gotama. Semua makhluk mempunyai kesempatan untuk menjadi Buddha, termasuk kita semua dengan cara menjaga kesadaran diri.
Dengan merenungkan ini kita hendaknya lebih semangat dalam melakukan kebajikan agar dapat merealisasi kebuddhaan seperti Buddha Gotama. Bodhgaya berada di pinggir Sungai Neranjara yang sekarang telah kering. Dulu, tempat ini adalah sebuah hutan yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Hutan Gaya, namun sejak petapa Gotama mencapai pencerahan di tempat tersebut, maka Hutan Gaya akhirnya populer dengan nama Bodhgaya atau Buddhagaya. Bahkan saat ini di Bodhgaya terdapat banyak wihara yang didirikan oleh berbagai negara dengan ciri masing masing termasuk sebuah wihara bernama Wihara Mahabodhi, yang menjulang setinggi 52 meter.
Wihara ini merupakan yang terbesar di India. Di sisi belakang bangunan dan barat bangunan wihara terdapat pohon bodhi yang diyakini merupakan turunan dari pohon yang menaungi petapa Gotama bermeditasi dan mencapai Bodhi menjadi Buddha. Di dekat pohon tersebut terdapat papan batu pasir berwarna kemerahan yang dipandang sebagai tempat duduk petapa Gotama saat bermeditasi mencapai kebuddhaan. Memasuki Wihara Mahabodhi, kita seolah diajarkan berjuang dengan kaki tanpa alas kaki memasuki area yang dijaga penjagaan ketat beberapa lapis.
Berjalan kaki sejauh 500 meter tanpa alas kaki di atas semen ataupun conblok panas akibat terik matahari memberikan satu renungan besar bagaimana perjuangan Sang Buddha memulai proses pencerahan 6 tahun yang memprihatinkan di Hutan Uruvela. Bahkan selama dua tahun pertama, Gautama hanya makan satu butir beras sehari dan untuk empat tahun ke depan, ia tak makan apa-apa.
Meskipun degenerasi hampir penuh tubuhnya, ia tetap duduk dalam meditasi terus menerus. Sebelum akhirnya ia menyadari bahwa penyiksaan ekstrim tidak menyebabkan pembebasan dan mencapai pencerahannya di Bodgaya. Bahkan perjuangan kebahagiaan bagi kehidupan masih berlangsung setelah mencapai pencerahan. Hal ini dapat kita perhatikan di lingkungan Wihara Mahabodhi Bodgaya tersebut dimana kita dapat menjumpai ada 7 tempat posisi Sang Buddha selama 7 minggu setelah mencapai pencerahannya.
Selama tujuh hari pertama, Buddha melanjutkan meditasi di bawah pohon, tanpa bergerak dari tempat duduknya dan selama enam minggu ke depan, beliau tetap di sekitarnya. Selama minggu kedua ia mondar-mandir, tenggelam dalam pikiran, dengan bunga teratai muncul dari jejaknya. Dia merenungkan apakah atau tidak untuk mengajar ajarannya.
Beberapa minggu berikutnya masing masing di posisi berbeda setiap minggunya, Sang Buddha yang telah tercerahkan terus melakukan perjuangan menyempurnakan pencerahannya. Beliau tidak langsung terbuai berhenti saat pertama sekali mencapai pencerahan. Setelah menghabiskan empat puluh sembilan hari meditasi, barulah Buddha meninggalkan Bodhgaya berjalan kaki untuk menemui lima pertapa di Benares, saat di mana dia akan memutar roda pertama Dharma. Perjuangan dalam kehidupan ini terus ada dalam hiruk pikuk persoalan yang ada, bunyikan selalu lonceng kesadaran diri agar pikiran senantiasa terjaga. (f)