"Kesabaranku sudah habis." Demikian penggalan kalimat yang sering kita dengar dalam kehidupan pergaulan sehari-hari. Ya, kesabaran sudah habis.
Dalam benak kita, orang yang mengungkapkan kalimat tersebut di atas tentunya adalah orang yang telah berusaha memendam perasaaannya sekian lama, tetapi kemudian sampai satu ketika, ia tidak mampu, kemudian bagaikan bom, meledak - sehingga tercetuslah kalimat bahwa kesabarannya telah habis. Dengan kata lain, selanjutnya, ia menjadi sosok yang mengerikan, yang seolah bebas melakukan apa saja yang bisa memuaskan hasratnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah kesabaran itu memang bisa habis layaknya stok barang di dalam gudang?
Mengenai hal ini, saya pernah langsung mendengar Yang Mulia Biksu Bhadra Ruci dalam sebuah wejangannya beberapa waktu silam, menegaskan bahwa kesabaran itu sesungguhnya tidak terbatas dan tidak mengenal kata "habis", sebagaimana yang sering kita dengar selama ini.
Orang yang mengatakan bahwa kasabarannya sudah habis sebenarnya bukan orang yang sabar. Menurut Biksu Bhadra Ruci, orang seperti ini sebenarnya adalah orang yang berusaha menekan perasaannya. Ketika ia tak sanggup lagi menekan perasaannya, maka ia beranggapan bahwa kesabarannya sudah habis.
Dalam Buddhisme, latihan kesabaran demikian penting. Kesempurnaan dalam kesabaran akan mendorong kita menggapai kesucian sebagai Bodhisattwa bahkan Buddha.
Kesabaran akan membuat kita bertahan dari halangan-halangan yang timbul, baik bersifat internal maupun eksternal. Lantas apa yang dimaksud dengan sabar?
Sabar secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan menerima sesuatu yang negatif. Tapi buat saya, ini tidak cukup. Sabar juga harus dilengkapi dengan upaya untuk mentransformasikan hal negatif menjadi sesuatu yang bermanfaat/positif.
Sebab kesabaran bukan apatis. Kesabaran justru bersifat aktif. Jika apatis atau pasif maka kita hanya sebatas mampu bertahan terhadap serangan hal-hal negatif.
Akibatnya, tidak memberi banyak manfaat. Malah menimbulkan penderitaan fisik, seperti penyakit kejiwaan akibat tertekan.
Oleh sebab itu kesabaran bersifat aktif. Hal-hal negatif yang kita terima, kita harus olah menjadi hal yang bermanfaat . Loh, bagaimana caranya?
Pada tahap inilah kita membutuhkan pandangan atau disebut juga paradigma. Dalam Buddhisme, pandangan ini menjadi urutan pertama dalam Jalan Utama Beruas Delapan, yaitu pandangan yang benar (The Right of view atau samma ajiva).
Pandangan atau paradigma adalah apa yang menjadi pondasi kita dari pikiran, ucapan ataupun perbuatan. Pandangan yang salah akan menimbulkan rentetan kesalahan lainnya, entah itu melalui fisik atau pun pikiran.
Pandangan benar bersumber dari pemahaman yang baik terhadap ajaran prinsip Buddha. Salah satu yang paling fundamental yaitu hidup ini dipenuhi dengan hal-hal yang sangat dinamis terhadap perubahan (dukkha). Ini merupakan sebuah konsekuensi mutlak kehidupan. Tak ada yang dapat melawan kondisi ini.
Jika kita sudah memahami konsekuensi ini, maka pada tahap awal, kita sudah memiliki apa yang disebut antibodi. Yang Mulia Biksu Sri Pannavaro Mahathera menyebutnya sebagai kekuatan mental.
Orang yang tidak memiliki kekuatan mental akan mudah rapuh dan goyah terhadap badai yang menimpa dirinya, terutama badai yang datang dari dalam diri sendiri.
Menurut Biksu Pannavaro, kekuatan mental dapat diperoleh dengan mengerjakan sesuatu melalui kesungguhan hati. Inilah yang dinamakan kesadaran (mindfullness).
Seorang petani jika menyadari sepenuhnya dirinya adalah seorang petani maka ia tentunya sadar bahwa satu saat ia harus siap menghadapi masa gagal panen. Sebab tak selamanya kita berhasil dalam bercocok tanam. Banyak halangan bisa timbul, mulai hama, cuaca, harga pasar, dan sebagainya. Meskipun demikian, ia akan tetap bekerja dengan penuh kesungguhan. Ketika terjadi kegagalan, ia tetap tabah dan kembali bekerja untuk memperbaiki kegagalannya.
Atau jika kita sadar bahwa kita adalah seorang siswa, maka kita akan tahu kewajiban kita. Kegiatan kita akan diisi dengan belajar. Kita akan belajar penuh kesungguhan. Belajar dengan tulus tidak mengharapkan nilai atau iming-iming. Bahkan setelah tamat dari sekolah pun, kita akan tetap terus belajar.
Inilah sabar yang sesungguhnya. Buddha Sakyamuni telah memperlihatkan teladan itu bagi para umat-Nya. Perjalanan kehidupan beliau tidak selamanya mulus. Buddha pernah difitnah, dicaci maki, atau dilecehkan. Namun dengan Maha Kesadaran yang dimiliki-Nya, ia tetap dalam Welas Asih dan Kebijaksanaan-Nya yang Agung.
Buddha dengan penuh kesungguhan tetap membabarkan Dharma kepada manusia dan seluruh makhluk. Ia tak tergoyahkan. Disinilah makna kesabaran yang sejati yang harusnya menjadi inspirasi bagi kita semua. Sadhu. (Penulis adalah Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Sumatera Utara/ r)