Secara statistik, menghitung umat Buddha tentunya tidak susah. Tapi pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengetahui kualitas umat Buddha dari jumlah yang sudah ada tersebut? Nah, untuk menjawab hal ini, tentu bukan mudah karena membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Ada sebuah penjelasan menarik dari Yang Mulia Biksuni Bhadra Ruci ketika memberikan Dharma Teaching di Kota Medan beberapa waktu silam. Beliau menjelaskan bahwa ada dua tipe umat Buddha.
Pertama, umat yang nge-fans kepada Buddha. Umat tipe ini pada umumnya melihat Agama Buddha hanya sebuah ritual, atraksi, festival, kegiatan dan sejenisnya. Mereka cenderung pasif karena hanya mengagumi Buddha secara lahiriah belaka. Mereka belum masuk pada semangat motivasi untuk mendalami ajaran Buddha, baik melalui kitab suci (teoritis) apalagi latihan diri (praktik).
Kenalan saya adalah seorang Buddhis. Setiap hari besar agama Buddha ia hadir dan ikut kegiatannya. Di meja kerjanya, ia memajang foto Buddha. Bahkan baju yang dikenakan juga kerap bertuliskan kutipan-kutipan dari ayat Suci Dhammpada. Tetapi hanya sebatas itu. Ia tak paham Sila, Jalan Utama Beruas Delapan, Empat hukum Kesunyataan, Hukum Karma, maupun Sebab dan Akibat. Kenalan ini merupakan tipe umat yang nge-fans kepada Buddha.
Kedua, umat yang serius mempelajari Ajaran Buddha. Umat seperti ini sungguh-sungguh mempelajari ajaran, baik secara teori maupun praktik. Ia menjadikan ajaran Buddha sebagai pedoman hidupnya untuk membuat hidupnya lebih baik dan berkualitas.
Kedua tipe ini kadang bisa terkombinasi. Ada yang serius sekaligus juga nge-fans. Tentu saja ini lebih baik. Umat Buddha yang nge-fans dengan Buddha akan lebih potensial membangun komitmen keyakinannya (saddha). Sedangkan umat Buddha yang serius, juga akan lebih terkondisi untuk merealisasi jalan yang diajarkan oleh Buddha untuk menuju Pantai Pembebasan.
Yang menjadi permasalahan, ada umat Buddha yang bukan dari kedua tipe dia atas. Nge-fans tidak, mau belajar lebih mendalam juga tidak mau - tetapi ia ngotot mengaku Umat Buddha. Nah, ini bagaimana?
Ajaran Buddha adalah ajaran yang penuh welas asih. Kita yang sudah memahami kondisi, jangan biarkan mereka terjebak dalam kenyamanan tersebut. Berilah perhatian, bimbinglah dan tetap curahkan welas asih sehingga secara perlahan, mereka mulai memahami ajaran Buddha dengan lebih baik.
Dalam hal ini, kita harus meniru Buddha Sakyamuni, Maha Guru nan Agung dan Bijaksana, yang tetap sabar kepada siapa saja, bahkan sekalipun menghadapi Devadatta, sepupunya - yang selalu merongrong dan ingin mencelakai diriNya.
Buddha tetap sabar dan selalu memberikan bimbingan. Devadatta yang sejak belia sudah ingin mencelakakan Buddha, diberi maaf olehNya. Tak ada dendam, tiada lagi kebencian.
Umat Buddha pada hakikatnya beragam tipe. Dengan demikian butuh pula berbagai metode untuk membina semua umat Buddha sehingga dapat memahami apa yang telah diajarkan oleh Buddha Sakyamuni.
Yang terlatih membimbing yang belum terlatih. Sebab, semuanya punya impian yang sama, yaitu mencapai Pantai Seberang. Semoga semua makhluk berbahagia, sadhu. (Penulis adalah Dharma Duta dan Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Sumatera Utara/ r)