Kehidupan setiap orang, dalam berbagai sisi penuh dengan kekhawatiran, baik khawatir tentang kesulitan-kesulitan ekonomi zaman ini maupun kekhawatiran yang telah ada ribuan tahun tentang musim yang sering menyebabkan gagal panen. Kehidupan ini memberikan banyak duka batin dikarenakan kehilangan pijakan pada kenyataan yang timbul.
Pemahaman terhadap kenyataan ini terangkum dalam ajaran Sang Buddha tentang Empat Kebenaran Mulia yang menguraikan fakta-fakta sejati. Dalam Manggala Sutta, pemahaman tentang Empat Kebenaran Mulia merupakan bagian dari tigapuluh delapan berkah yang memberikan kebahagiaan. Seseorang yang telah memahami Empat Kebenaran Mulia akan memaknai kenyataan yang timbul sebagai kebenaran atau mengetahuinya sebagai kebenaran yang pada akhirnya memberikan rasa damai bahagia bagi dirinya.
Kebenaran Mulia Pertama dapat kita ambil contoh dari kehidupan modern. Suatu saat kita terjebak dalam kemacetan lalu lintas, yang menyebabkan terlambat untuk sebuah janji sehingga menimbulkan ketidakbahagiaan menghadapi hal tersebut dan timbul pikiran-pikiran negatif yang penuh dengan ketidaksabaran dan kemarahan. Kondisi ketidakbahagiaan yang timbul diilustrasikan seolah bagaikan orang yang haus, sangat mengharapkan air bahkan seolah-olah akan sekarat karena kehausan. Dalam keadaan lalu lintas yang macet itu, kita berpikir harus keluar dari kemacetan tersebut, dan tidak sabar untuk bisa bebas dari ketidakbahagiaan dan kekecewaan. Mirip dengan orang haus yang berpikir: "Aku tidak sabar untuk bisa mendapatkan seteguk air."
Seperti halnya gambaran kemacetan yang sering kita alami, apapun kondisi seseorang, seseorang yang hidupnya sangat mewah, nyaman, beruntung, dan sebagainya tetaplah manusia yang dicengkeram oleh belenggu hukum karma dan mengalami hukum Kebenaran Mulai Pertama yakni hidup adalah dukkha/ketidakpuasan. Makhluk hidup apapun, dicengkeram oleh ketidakpuasan dan derita, maka seharusnya kita tidak perlu merasa frustasi atas hidup yang tidak pernah memuaskan ini, ataupun meyakini bahwa orang lain yang harus bertanggung jawab atas derita yang kita rasakan.
Setelah memahami bahwa hidup adalah Dukkha/ ketidakpuasaan, kita selanjutnya mendapatkan Kebenaran Mulia Kedua yakni Kebenaran Tentang Sumber Penderitaan. Kebenaran Mulia Kedua menyatakan bahwa ada sumber dari penderitaan yakni kemelekatan kepada tiga jenis nafsu: nafsu kenikmatan indria (kama tanha), nafsu menjadi (bhava tanha) dan nafsu menyingkirkan (vibhava tanha).
Asal mula dukkha/ ketidakpuasan dikarenakan kebodohan. Karena ada kebodohan, maka ada ketamakan dan ketidaksukaan, yang diliputi pula dengan jelmaan-jelmaan kebodohan sebagai turunannya. Penderitaan bersumber pada kecanduan yang disertai dengan kegemaran dan ketergila-gilaan, kegemaran pada ini dan itu: dengan kata lain, kecanduan akan kenikmatan indria, kecanduan untuk menjadi dan kecanduan untuk tak- menjadi. Makna yang dapat kita pahami dari Kebenaran Mulia Kedua adalah bagaimana nafsu keinginan harus dibiarkan berlalu termasuk memiliki pengetahuan bahwa nafsu- keinginan harus dilepas.
Setelah memahami sumber Dukkha/ketidakpuasaan, kita akan mencoba mengetahui Kebenaran Mulia Ketiga yakni Kebenaran Mulia mengenai Berakhirnya Penderitaan. Kebenaran Mulia Ketiga dengan ketiga aspeknya adalah: 'Ada berakhirnya penderitaan, dukkha. Berakhirnya dukkha harus dicapai. Berakhirnya dukkha telah dicapai.'
Kebenaran berakhirnya penderitaan adalah kebenaran untuk mengembangkan pikiran reflektif agar dapat melepas delusi-delusi (pemikiran salah). Ketika kita mengenali bahwa kemelekatan pada nafsu-keinginan adalah penderitaan, maka kita memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan untuk membiarkan sang nafsu berlalu serta merealisasi berakhirnya penderitaan. Pengetahuan ini hanya dapat timbul melalui refleksi, bukan melalui sekedar percaya. Dengan benar-benar merenung dan memikirkan kebenaran inilah maka pengetahuan timbul dalam diri. Kebijaksanaan timbul hanya melalui pikiran yang terbuka dan siap menerima ajaran. Percaya membuta jelas tidak disarankan atau diharapkan dari siapapun. Sebaliknya, pikiran harus siap menerima, meneliti dan mempertimbangkan.
Keadaan mental ini sangat penting - inilah jalan keluar dari penderitaan. Ini bukanlah pikiran yang berpandangan kaku dan penuh prasangka serta merasa mengetahui segalanya atau yang gampang-gampang menerima omongan orang sebagai kebenaran. Ini adalah pikiran yang terbuka terhadap Empat Kebenaran Mulia- yang dapat berefleksi terhadap sesuatu yang bisa kita lihat dalam pikiran kita. Kapanpun timbul sesuatu yang tampaknya menarik dan menguntungkan, maka ditinggalkan dan diakhiri. Inilah Kebenaran Mulia Ketiga mengenai Berakhirnya Penderitaan.
Kebenaran Mulia Keempat mengenai Kebenaran Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan. Kebenaran Mulia ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan diuraikan secara berurutan: diawali dengan Pengertian Benar, berlanjut ke Niat atau Aspirasi Benar; kedua elemen jalan ini dikelompokkan dalam Kebijaksanaan (panna). Panna mengalir ke komitmen moral (sila), yang mencakup Ucapan Benar, Perbuatan Benar, dan Penghidupan Benar. Kemudian dari moral (sila) secara alamiah mengalir: Usaha Benar, Perhatian-penuh Benar dan Konsentrasi Benar. Ketiga elemen terakhir ini memberikan keseimbangan emosional. Ketiganya adalah mengenai hati - sang hati yang terbebaskan dari keberpusatan-diri dan keegoisan. Dengan adanya Usaha Benar, Perhatian-penuh Benar dan Konsentrasi Benar, hati menjadi murni, bebas dari noda dan kotoran.
Empat Kesunyataan Mulia, merupakan salah satu uraian yang paling indah yang pernah ada mengenai kondisi makhluk. Di dalam uraian Empat Kebenaran Mulia yang jelas dan sederhana disampaikan kebenaran yang tak terbantahkan. Berisi sebuah pernyataan yang ringkas tentang penderitaan yang dihadapi oleh manusia dan semua makhluk. Sebab dan akibat dari kondisi ini telah ditunjukkan dalam arti yang sejelasnya (tidak mendua arti). Solusi atau jalan keluar dari kesulitan hidup dijabarkan dengan jelas. Dan akhirnya, hasil yang luhur dan manfaat dari mengikuti jalan ini dijelaskan secara sederhana dan mudah dimengerti. Empat Kebenaran Mulia menjadi berkah kebahagiaan sebagaimana disebut dalam Manggala Sutta. (f)