Ada kebahagiaan setiap kali memperingati momen Waisak. Mungkin dikarenakan momen Waisak bertaburan kegiatan yang menyenangkan, di antaranya kebersamaan dalam menyambut detik-detik Waisak, lalu puja bakti bersama, lalu melakukan kunjungan ke rumah-rumah sahabat. Ada kalanya momen Waisak diisi juga dengan kegiatan bakti sosial, pentas seni atau perjalanan suci ke tempat-tempat yang bersejarah dalam Agama Buddha. Banyak sekali hal yang biasa dilakukan untuk memeriahkan momen Waisak ini.
Lepas dari itu semua, Waisak hendaknya bukan semata aktivitas ke luar (outer) melainkan juga penting sebagai momen refleksi diri (inner). Tiga peristiwa yang terjadi pada bulan Waisak, yaitu lahirnya Siddharta sebagai calon Buddha, pencapaian agung nan sempurna petapa Siddharta menjadi Buddha dan wafatnya Buddha Sakyamuni di alam manusia, sesungguhnya sarat dengan perenungan yang sangat dalam.
Bahwa Waisak sesungguhnya merupakan momen perubahan, dimana Siddharta dengan penuh kesadaran diri bersedia melepaskan kehidupan yang penuh kenyamanan menuju sebuah babak kehidupan baru yang penuh pergolakan, yang sering kita sebut sebagai penderitaan (dukkha).
Kita bayangkan Siddharta berani mengambil keputusan untuk meninggalkan istananya yang megah dan nyaman serta peluang kekuasaan yang akan diterimanya sebagai putera mahkota, hanya untuk mencari solusi bagaimana manusia mampu menghadapi sakit, tua, dan kematian dengan cara yang benar. Untuk itu, Siddharta lalu memilih jalan hidup yang asketis sebagai seorang petapa miskin yang hidup di hutan belantara. Ia kehilangan kesempatan untuk makan enak, tidur nyaman, dan dekapan isteri cantik yang mencintai. Dengan kata lain, Siddharta berani melakukan perubahan, dengan meninggalkan kesenangan, demi tujuan yang lebih besar. Nah, kita sebagai umat Buddha, apakah bisa mengikuti jejak Sang Guru?
Kemudian, setelah Petapa Siddharta mencapai Pencerahan Agung nan Sempurna, Ia memahami dengan jelas tanpa halangan semua hukum alam beserta fenomenanya. Dalam pandangan awam, perjuanganNya telah mencapai garis akhir. Sang Guru sesungguhnya bisa duduk santai dan berdiam diri dengan kondisi yang sudah mapan secara spiritual. Tapi Buddha tidak melakukannya. Selama empat puluh tahunan, Buddha berkeliling, berjalan kaki, bukan dengan menaiki gajah atau kendaraan kerajaan lainnya, di jalanan India yang kering dan berdebu, untuk membabarkan ajaran tentang bagaimana manusia bisa mencapai kebahagiaan. Ia menerima dana makanan, bukan memintanya.
Tak jarang Ia diperlakukan dengan tidak layak: diteror, difitnah, dihina, dan sebagainya. Buddha menerimanya dengan lapang dada tanpa ada pembalasan sedikit pun. Ia teguh dalam prinsip yang diajarkan-Nya. Buddha mengajarkan bahwa semua harus dimulai dari diri sendiri. Ia melakukan persis seperti apa yang diajarkan-Nya. Atas semua itu, apakah kita bisa mengikuti jejak Sang Guru?
Dengan fisik manusia, Buddha juga tak lepas dari fenomena hukum alam sebagai manusia, yaitu mengalami usia tua. Ia juga mengalami sakit fisik walau bathinnya tetap cemerlang laksana permata. Secara kacamata duniawi, Buddha sudah mengalami kemasyuran, nama-Nya terkenal di seantero jagad sebagai guru manusia dan para Dewa, kebijaksanaan-Nya juga diakui, serta murid yang semakin bertambah. Namun demikian, Buddha tidak memonopoli ajaran. Dalam usia yang semakin sepuh, Ia berpesan agar Dharma menjadi berhak semua makhluk. Siapa pun yang berpegang teguh pada Dharma maka akan memperoleh manfaat. Ia tidak menunjukkan pewaris sebab Dharma adalah milik semuanya. Ia melihat semua berkesempatan menjadi Buddha.
Kepada salah satu siswa-Nya, Yang Ariya Ananda Thera, Buddha sempat bertanya, apakah ajaran yang diberikan sudah cukup sebagai bekal. Ananda yang tidak memahami ujung pembicaraan itu, mengatakan cukup. Itu dilakukan sampai tiga kali. Karena merasa cukup, Buddha ternyata memutuskan untuk menyelesaikan pengabdian-Nya di alam manusia. Tak lama ia meninggal dengan penuh kesadaran. Fisiknya mati, namun tidak bathin-Nya. Ia melepas semua dengan tuntas, tanpa kemelekatan, tanpa ketakutan, meski yang ditinggalkan adalah nama besar dengan segala potensinya. Kelak Ananda menyesali perbuatannya yang tak sadar. Tapi Buddha teguh pada keputusan-Nya. Ia meninggalkan kehidupan di dunia manusia. Buddha justru tidak melekat dengan itu semua. Ia lepas tuntas.
Tiga peristiwa ini sarat makna betapa Buddha adalah sebuah perubahan itu sendiri. Semua itu diwariskan kepada kita. Pertanyaannya, siapkah kita menerima dan meneladaninya? Semua hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri. (Penulis adalah Dharma Duta dan Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia Provinsi Sumatera Utara/h)