Ketika Buddha mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam sadar penuh (mindfulness) maka sesungguhnya, yang sering kita lakukan dalam kehidupan nyata adalah kebalikannya.
Dalam sebuah tulisannya yang bagus, yang berjudul "Praktik dalam Kehidupan Sehari-hari", Biksuni Thubten Chodron, seorang biksuni bule asal Amerika dan jebolan UCLA - menyatakan bahwa lawan dari hidup sadar penuh adalah hidup yang otomatis. (Jalan Menuju Kebahagiaan, 2006; hal. 6-7)
Kita dapat melihat kondisi nyatanya. Ketika kita memperoleh sejumlah uang, pikiran kita langsung terseret pada keinginan untuk membelanjakannya. Kita tidak pernah mau tahu, apakah yang kita inginkan memang merupakan kebutuhan atau cuma sekedar ingin memuaskan hasrat lahiriah. Atau ketika kita berhadapan dengan sejumlah hidangan. Jika memang sesuai dengan apa yang kita suka, maka tanpa pikir panjang, kita akan melahapnya tanpa pernah tahu apakah makanan tersebut memang dibutuhkan oleh fisik kita atau malah berpotensi untuk merusaknya. Atau ketika berada di kantor, kita otomatis bekerja tanpa mengingat kemampuan diri kita. Kerja, kerja, dan kerja. Semua berjalan begitu saja, mengabaikan makna kehidupan yang sesungguhnya hadir setiap saat.
Hidup otomatis dipicu oleh perilaku reaktif kita terhadap suatu obyek. Kita diatur oleh hawa nafsu bukan kesadaran. Akibatnya, manusia semakin jauh dari jati dirinya. Kita seperti robot yang dikendalikan oleh nafsu keinginan kita. Apabila kekuatan nafsunya kuat, maka kita akan makin terjerumus makin dalam. Padahal setelah semuanya terpenuhi, kita baru sadar, bahwa apa yang kita lakukan untuk itu, juga belum juga membuat hidup kita bahagia. Ironis sekali.
Maka tidak heran, setelah membelanjakan uang yang dimiliki, kita masih sering mengeluh, kok setelah apa yang kita inginkan terpenuhi, masih tidak puas? Atau ketika selesai makan, kita sering lupa apa yang telah masuk ke dalam perut kita. Ini semua karena kita melakukannya secara otomatis, bagaikan mesin, tanpa landasan kesadaran. Alhasil, kita menjumpai banyak orang yang justru bingung atas kehidupan yang dijalaninya sendiri.
Hidup otomatis akan berakhir jika kita mulai mempraktikkan sadar penuh. Hidup yang penuh kesadaran akan menuntun kita untuk peduli (ingat, bukan melekat) pada diri kita. Kita peduli terhadap apa yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan.
Ketika diri sedang marah, kita peduli bahwa hal ini tidaklah baik bagi diri kita dan juga orang lain. Sebaliknya, ketika kita merasa senang, kita peduli bahwa kesenangan yang timbul, adalah akibat dari perbuatan kita dan tidak akan langgeng.
Manusia yang peduli terhadap apa yang dipikirkan, diucapkan, dan diperbuatnya akan menjadi manusia yang penuh kewaspadaan. Ia tidak akan terlena oleh serangan-serangan yang membahayakan dirinya.
Ketika manusia yang terjebak dalam kehidupan serba otomatis akan lebih mudah kehilangan kesejatian kodratnya sebagai manusia, maka manusia yang melatih hidup sadar penuh akan semakin paham hakikat dirinya sebagai manusia.
Oleh karena itu, Yang Mulia Biksu Thich Nath Hanh pernah berpesan bahwa keajaiban sejati seorang manusia adalah berjalan di bumi.
Mungkin karena banyak manusia yang hidup di bumi, tapi sering, karena kesibukannya, ia lupa sedang berada di bumi - tempat yang fana, yang tak luput dari penderitaan. (*) Penulis adalah Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Sumatera Utara/ r)