Jakarta (SIB)- Wakil Ketua PP Muhammadiyah Sudarnoto mengatakan, radikalisme di Indonesia kerap dikaitkan dengan kesalahpahaman memaknai suatu ajaran tertentu, khususnya Islam. Salah satu yang menjadi pemicu hal ini adalah kondisi dunia pendidikan Islam yang masih memprihatinkan
"Ancaman dari trans Islam seperti gerakan radikalisme Islam menjadi perhatian bagi dunia Pendidikan Islam. Harus diyakinkan betul, Pendidikan Islam harus menguatkan penanaman nilai pancasila," kata Sudarnoto di Kantor Pusat MUI, Jakarta Pusat, Rabu, (24/2).
Paparan tersebut diungkapkan Sudarnoto dalam acara diskusi yang digelar oleh Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Diskusi dengan tema "Revitalisasi Pendidikan Islam: Problematika dan Solusi" ini juga dihadiri oleh perwakilan pimpinan ormas-ormas Islam.
"Perlu ada sebuah revitalisasi untuk mereview kurikulum Pendidikan Islam. Lebih memperhatikan buku-buku pegangan yang digunakan pelajar dan mahasiswa dalam lingkungan Pendidikan Islam," tambah Sudarnoto.
Senada dengan Sudarnoto, Ketua Umum GUPPI (Gerakan Untuk Perbaikan Pendidikan Indonesia), Imam Thalkah menambahkan, telah terjadi pergeseran metode pembelajaran yang dilakukan di pesantren-pesantren. Ia menganggap, pembelajaran di Pesantren dewasa ini seolah ingin menyamakan kurikulum yang dipakai di sekolah-sekolah umum.
"Sejumlah Pendidikan Pesantren yang berjumlah 29.000, pesantren salafiah tradisional jumlahnya cenderung menurun. Pengajian kitab kuning mulai bergeser, lebih banyak yang pesantren sama dengan sekolah Umum," tutur Imam.
Hal ini menurutnya disebabkan dengan pandangan yang banyak berkembang di masyarakat umum, bahwa pesantren dianggap sebagai pemicu terjadinya pemikiran radikalisme. Perlu diadakan dialog untuk memberikan pemahaman, bahwa pendidikan Islam yang diajarkan di pesantren tidak terkait dengan hal seperti demikian.
"Beberapa Pesantren dianggap memicu radikalisme, kita harus mengembangkan dialog bersama antar para pemerhati pendidikan reguler dengan Pendidikan islam," tutup dia.
(detikcom/y)