"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)." (QS Al-A'raf [7]: 199-202)
Ouput dari ibadah puasa ialah munculnya pribadi takwa. Taqwa menjadi kriteria penilaian Allah terhadap kemuliaan manusia. Manusia dinilai mulia oleh Allah bukan berdasarkan rupa, pintar bodoh, kaya miskin, asal usul, suku bangsa dan sebagainya, melainkan hanya dari ketaqwaannya.
Cukup banyak ayat yang menerangkan bagaimana karakter orang bertakwa. Salah satunya tergambar dari ayat di atas. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa inilah arahan buat Nabi dan kaum muslimin kala itu yang menghadapi tantangan. Perintah tersebut agar muslim mempertunjukkan akhlak mulia dalam setiap tindakannya.
Arahan-arahan rabbani dalam menghadapi jahiliyah yang keji dan dalam menghadapi manusia yang sesat, mengajak muslim untuk berlapang dada dan bersikap mudah, untuk memerintahkan kebaikan yang jelas dan dikenal fitrah manusia karena sederhananya. Tidak memperumit dan tidak mempersulit serta berpaling dari jahiliyah, tidak merespon mereka, tidak mendekat mereka, dan tidak melayani mereka. Jika mereka melampaui batas, mengusik kemarahannya dengan sikap keras kepala dan menghalangi manusia dari kebenaran, dan ketika setan menghembuskan amarah, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah agar ia menjadi tenang dan sabar.
Dari penjelasan Sayyid Quthb terlihat bahwa pribadi takwa itu pemaaf dan mampu mengendalikan emosi dengan baik. Tak heran, muslim yang sukses dalam puasa Ramadhannya, pasti akan mudah memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain kepada dirinya. Selain itu, secara jasmaniah-fisik pun, ibadah puasa juga ternyata sebenarnya bermanfaat melatih saraf-saraf takwa dalam system tubuh manusia.
Agus Mustofa (2016) menjelaskan bahwa ibadah puasa selama sebulan menjadi semacam stimulasi untuk meng-exercise saraf-saraf otak membentuk "sirkuit ketakwaan". Dijelaskan bahwa kualitas jiwa manusia, terwakili oleh kualitas otaknya. Jika otaknya jelek, jiwanya jelek. Dan jika otaknya baik, jiwanya pun baik.
Berbagai penelitian modern menunjukkan bahwa otak manusia menjadi representasi dari jiwa. Karena, persis di balik otak itulah substansi kemanusiaan kita berada.
Di bagian paling depan otak terdapat bagian yang dikenal sebagai "prefrontal cortex" (PFC). Secara fisik luar, bagian PFC itu berada di sekitar dahi dan ubun-ubun. Bagian kepala yang selalu kita sentuhkan ke bumi saat bersujud kepada Allah di dalam shalat. Di situlah kepribadian seorang manusia berada. Jik, bagian PFC ini mengalami kerusakan, maka kepribadian seseorang itu pun berubah, menjadi lebih buruk dan jahat. Tanpa mengubah fungsi-fungsi lain terkait dengan panca indera maupun motoriknya. Jadi yang berubah cuma akhlaknya. Bisa dikatakan disinilah pusat akhlak manusia.
Bagian ini disebut juga sebagai "pengendali fungsi utama" kemanusiaan. Karena, jika bagian ini rusak, meskipun bagian otak lainnya masih baik, seseorang akan kehilangan sifat-sifat luhur sebagai seorang manusia. Bersama dengan amygdala yang ada di sistem limbik, bagian PFC ini membentuk mekanisme pengaturan "emosi dan pikiran rasional".
Jika dikarenakan sesuatu, amygdala memicu meledaknya emosi, maka prefrontal cortex alias PFC akan meredamnya menjadi emosi yang lebih rasional. Dengan kata lain, akhlak kita mampu meredam emosi yang sedang meledak-ledak. Sebaliknya, jika PFC tidak berfungsi dengan baik, emosi kita bakal lepas tidak terkendali. Seperti banteng mengamuk. Atau, badak menyeruduk.
Al Qur'an mengisyaratkan itu dalam sebuah ayat, "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsu (emosi buruk)-nya sebagai tuhan. Maka apakah kamu dapat menjaganya (dari keburukan)? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan menggunakan akal (dalam berperilaku). Mereka itu tidak lain, seperti binatang ternak. Bahkan mereka menapaki jalan yang lebih sesat (lebih buruk dari itu)." (Qs 25: 43-44)
Dorongan emosi muncul di amygdala. Sedangkan redaman rasionalnya muncul di PFC, yang menyelinap masuk ke dalam sistem limbik dan mewujud di hippocampus. Maka, "pertarungan" antara rasionalitas dan emosi itu sesungguhnya terjadi di dalam sistem limbik: antara sinyal-sinyal hippocampus yang rasional dengan sinyal-sinyal amygdala yang emosional. Dan kemudian melebur menjadi "akal sehat" dalam setiap keputusan dan perbuatan kita.
Agus menyebutnya sebagai "pikiran yang penuh perasaan" atau "perasaan yang penuh pikiran". Dengan kata lain, "rasio yang emosional" ataupun "emosi yang rasional". Ibadah puasa ini adalah dampak positifnya terhadap pembentukan prefrontal cortex ke arah yang lebih baik. Ternyata, otak manusia memiliki kemampuan untuk berkembang secara plastisitas membentuk "sirkuit-sirkuit saraf" yang bertanggung jawab terhadap perilaku yang kita latihkan setiap hari.
Ibarat orang yang terbiasa melakukan fitness - melatih ototnya untuk mampu mengangkat beban-beban yang lebih berat - orang yang bertakwa memiliki sirkuit saraf PFC yang luas, dengan kabel-kabel saraf yang tebal, dan kualitas kelistrikan yang sangat bagus. Sehingga dorongan emosinya selalu bisa diredam oleh akhlak mulia dalam perilaku sehari-harinya.
Penutup
Ibadah puasa yang lalu diharapkan dapat melahirkan pribadi takwa. Sosok yang mempunyai dan mempertontonkan akhlak mulia dalam kehidupan. Secara ilmiah, ternyata ibadah puasa memang merupakan proses latihan sistem saraf (otak) manusia agar mampu meredam emosi berlebihan dan menggantinya dengan akhlak mulia. Wallahua'lam. (f)