Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 29 Juni 2025

Penting Membangun Koordinasi Efektif dalam Pengelolaan Wakaf

- Jumat, 23 September 2016 16:34 WIB
306 view
Penting Membangun Koordinasi Efektif dalam Pengelolaan Wakaf
SIB/humas
Sekjen Kemenag Nur Syam.
Jakarta (SIB)- Di era kerjasama dan jaringan yang sangat penting di era manejemen modern, membangun koordinasi vertikal maupun horizontal sangatlah penting. Sebagaimana diketahui bahwa Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga semi pemerintah yang keberadaannya sangat tergantung pada bagaimana pimpinan BWI dapat membangun jejaring dengan instansi vertikal seperti Kementerian Agama, Kementerian Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian Dalam Negeri dan sebagainya, serta jejaring horizontal dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan kemasyarakatan dan sebagainya, baik di dalam maupun di luar negeri.

"Oleh karena itu, acara ini menjadi penting untuk memetakan bagaimana koordinasi jejaring itu makin efektif dan optimal," demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam saat memberikan presentasi terkait upaya membangun koordinasi yang efektif di dalam kerangka untuk mengembangkan peran wakaf yang lebih optimal di masa yang akan datang yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf pada Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama di Jakarta, Senin (19/8).

Selain Sekjen, tampil sebagai narasumber Sesditjen Bimas Islam Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, dan peserta di antaranya Direktur Pemberdayaan Wakaf, Dr. Suwardi Abbas, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia, Dr. Slamet Riyanto, dan sejumlah pimpinan BWI Pusat dan daerah serta para pimpinan Perbankan Syariah dan lain-lain. Tema yang didiskusikan adalah mengenai bagaimana peran Kementerian Agama dan BWI di dalam mendorong koordinasi optimal antar kelembagaan.

Sekjen melihat bahwa ada sejulah problem yang perlu dicarikan solusinya. Di antara problem koordinasi tersebut sebagaimana tergambar sebagai berikut: 1) perlunya mempertegas kewenangan atau otoritas antara BWI dan Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian. Menurut Sekjen, bisa jadi, bahwa ada tumpang tindih di antara keduanya. Ada program atau kegiatan yang bisa sama antara BWI dan Kemenag.

"Sesungguhnya Kemenag berada di dalam posisi sebagai regulator dan BWI sebagai eksekutor. Sebagai regulator, maka Kemenag memiliki kewenangan untuk membangun regulasi-regulasi yang mengarah kepada bagaimana mengembangkan wakaf untuk kepentingan umat. Sedangkan BWI dalam posisi sebagai eksekutor tentu saja akan mengambil posisi untuk mengembangkan program yang selaras dengan pengembangan peran wakaf untuk kepentingan umat," papar Sekjen.

Untuk itu, ujar Sekjen, di dalam konteks ini, maka keduanya (Kemenag-BWI) harus selalu duduk bareng untuk membahas, mana yang akan menjadi kewenangan dan aksi program di antara keduanya, sehingga tidak akan terjadi duplikasi dan tumpang tindih dimaksud.

Selama ini, Sekjen melihat bahwa relasi dan koordinasi di antara BWI Pusat dan Daerah dan Pemerintah Pusat dan Daerah bercorak fluktuatif. Artinya, bahwa selalu ada dimensi tarikan politik dan kekuasaan di dalam relasi di antara mereka. Jadi, selalu saja tergantung kepada pejabat pemerintah daerah di dalam memberikan dukungan terhadap BWI ini.

Dimisalkan Sekjen, sebagaimana di DKI, seperti penuturan pimpinan BWI DKI, bahwa BWI DKI baru didirikan dua tahun yang lalu, sementara itu terdapat Peraturan Daerah yang memberikan amanah bahwa organisasi sosial kemasyarakatan baru bisa diberikan bantuan operasional jika sudah berdiri selama tiga tahun.

Dalam pandangan Sekjen, hal ini merupakan sesuatu yang aneh, sebab BWI didirikan dalam mandat khusus Undang-Undang, yang tentu berbeda dengan organisasi yang dibikin oleh masyarakat. Dengan demikian, BWI ini disamakan misalnya dengan organisasi atau perkumpulan informal yang didirikan oleh masyarakat.

Selain itu, papar Sekjen, tekanan politik birokrasi terkadang juga menjadi variabel yang menghambat terhadap bangunan koordinasi antar kelembagaan. Misalnya, jika di dalam pilkada bertepatan bahwa yang memenangkan pertarungan adalah lawan politik pimpinan BWI, maka akan dapat dipastikan bahwa akan terjadi kerenggangan komunikasi dan koordinasi tersebut. Dengan demikian, upaya membangun jejaring, komunikasi dan kordinasi tersebut harus benar-benat berada di dalam ruang yang aman dan independen.

"Jika tidak, maka dipastikan akan mengganggu terhadap jalannya organisasi ini," urai Sekjen.

Selanjutnya, terang Sekjen, kerjasama program dengan dunia usaha. Sebagaimana dipahami bahwa dewasa ini terdapat pemikiran bahwa diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Di era sekarang, maka penyelenggaraan pemerintahan dan juga organisasi sangat tergantung kepada bagaimana penyelenggaraan programnya didasarkan atas kerjasama antar kelembagaan, masyarakat dan dunia usaha.

"Bagi saya, kerjasama kelembagaan tidak seharusnya menggunakan basis etnis atau agama. Maka menurut saya, sah saja BWI menjaring kerjasama dengan dunia usaha yang didirikan oleh pengusaha beretnis Cina atau perusahaan nasional lainnya. Perusahaan memiliki CSR yang saya kira di dalam Undang-Undangnya tidak membatasi kepada siapa CSR tersebut akan diberikan, selama prosedural dan memenuhi persyaratan," papar Sekjen.

Dikatakan Sekjen, kita memahami bahwa hanya sedikit pengusaha muslim yang kitamiliki. Di dalam Top 100 Pengusaha Indonesia, maka tidak lebih 10 jumlah pengusaha muslim. Hanya ada, misalnya Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Aksa Mahmud, Muryati Sudibyo, Masyfuk, dan lain-lain. Jadi yang lebih banyak adalah para pengusaha non Muslim dan kebanyakan beretnis Tionghoa.

"Di dalam hal ini, maka menjalin program untuk mengembangkan program perwakafan tentu bisa dilakukan dengan siapa saja dengan catatan saling menguntungkan," kata Sekjen.

Ketiga, lanjut Sekjen, program pendampingan terhadap para nadzi, Sekjen menilai sangat penting. Berdasarkan pengalaman banyaknya program pemberdayaan wakaf produktif yang gagal karena perselisihan di antara nadzir, maka BWI baik pusat maupun daerah seharusnya memiliki tim yang kuat untuk program pendampingan wakaf produktif. Jika ada masalah yang dihadapinya, maka tim ini akan bekerja untuk memberikan solusi yang cerdas tentang bagaimana wakaf produktif tersebut dapat didayagunakan.

"Jangan kita biarkan upaya kaum pengembang yang akan memanfaatkan tanah wakaf produktif kemudian mundur teratur karena ketidakjelasan mekanisme kerjasama yang seharusnya bisa dilakukan," ucap Sekjen.

"Dengan demikian, program ke depan, saya kira yang sangat mendasar adalah bagaimana BWI dan Ditjen Bimas Islam dapat membangun dinamika kerjasama, membangun koordinasi yang efektif dan optimal berbasis pada prinsip saling menguntungkan," imbuh Sekjen. (Pinmas/h)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru