Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 29 Juni 2025

Memaknai Nuzulul Quran

* Oleh : Islahuddin Panggabean, S.Pd
- Jumat, 16 Juni 2017 21:49 WIB
765 view
Memaknai Nuzulul Quran
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan  Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS Al-Baqarah : 185)

Ramadan dikenal sebagai syahrul quran karena ia bulan diturunkannya Al-Quran. Mengenai turunnya Quran, terdapat perbedaan pendapat ulama. Namun pendapat paling kuat dan dipegang oleh banyak ulama ialah bahwa Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia (darul izzzah) pada Lailatul qadar dan kemudian diturunkan berangsur-angsur sepanjang kehidupan Rasulullah Saw.

Mengenai waktu turunnya pada bulan Ramadan juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan pada malam 7 Ramadan, ada yang mengatakan malam 17 Ramadan, ada pula 24 bahkan 21 Ramadan. Salah satu ulama yang berpendapat pada malam 21 ialah al-Mubarakfuri setelah beliau melakukan penelitian berdasarkan usia diutusnya Muhammad Saw sebagai Nabi yakni 40 tahun 6 bulan 12 hari, bertepatan dengan 10 Agustus 660 M hari Senin.
Adapun di Indonesia mengapa ditradisikan memperingati Nuzulul Quran pada 17 Ramadan juga tak lepas dari pendapat ulama. Yakni perkataan Ibnu Katsir dalam Bidayah wa Nihayah, Al-Waqidi yang meriwayatkan dari Abu Ja'far al-Baqir yang mengatakan bahwa,"Wahyu yang pertama kali turun pada Rasul pada hari Senin 17 Ramadan dan dikatakan juga 24 Ramadan."

Hendaknya ummat Islam tidak menghabiskan umur untuk memperdebatkan perbedaan itu. Yang paling penting ialah memaknai peristiwa Nuzulul Quran dalam keberislaman. Prof Hasan Asari (2016) menjelaskan Nuzulul Quran dapat dimaknai dengan tiga tataran, pertama, sebagai sejarah. Kedua, mencari makna melalui tafsir dan yang ketiga menggunakan Al-Quran sebagai konstruksi peradaban-bagaimana menurunkan Al-Quran ke dalam amalan. 

Allah telah menjadikan Al-Qur'an dan RasulNya sebagai medium untuk berinteraksi dengan hambaNya. Bedanya, Kalau Nabi Musa dahulu meninggalkan umatnya 40 hari mendaki Gunung Sinai untuk menerima 10 perintah Allah dan begitu kembali ke umatnya Nabi Musa mendapati mereka terkecoh oleh Samiri, ini berbeda dengan Nabi Muhammad. Proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad adalah di saat Nabi Muhammad tengah berada di tengah-tengah umatnya. Pernah Nabi menerima langsung wahyu saat mi'raj ke langit tapi itupun hanya semalam saja, tidak perlu sampai 40 hari meninggalkan umatnya.

Hikmahnya karena Allah ingin wahyuNya berinteraksi akrab dengan situasi dan kondisi yang dialami Nabi dan sahabatnya. Al-Qur'an turun bukan sekaligus dalam bentuk lempengan batu seperti 10 perintah yang Nabi Musa terima, tapi turun berangsur-angsur selama 23 tahun. Pada kurun waktu itu terus terjadi interaksi antara Allah, Nabi Muhammad dan Umat.

Turunnya Al-Quran secara berangsur memiliki banyak manfaat di antaranya yakni untuk menguatkan hati Nabi dan orang beriman. Selain itu, memberi kemudahan bagi manusia untuk memahami dan mengamalkannya, serta untuk menetapkan syariat secara bertahap sampai mencapai tingkatan sempurna. Manfaat lain tentunya memberikan solusi atas masalah yang dihadapi Nabi secara real. Bayangkan betapa akrabnya interaksi antara Sang Khaliq, Sang Nabi dan para sahabatnya saat itu.

Pertanyaannya, bagaimana pula cara kita berakrab ria dalam tuntunan Tuhan saat Al-Quran sudah berbentuk kitab, Nabi telah wafat Prof Nadirsyah Hosen (2016) menguraikan para Imam mujtahid dulu merumuskan perangkat-perangkat beragama untuk membuat wahyu ilahi dan petunjuk Nabi terus relevan dan tetap akrab dengan berbagai problematika keseharian yang dihadapi.

Imam Malik merumuskan amal (tradisi) penduduk Madinah sebagai sumber keberislaman sekunder. Karena Nabi Muhammad berinteraksi dengan sahabatnya selama tinggal di kota Madinah, maka kita perhatikan saja apa amalan penduduk Madinah. Apa yang mereka lakukan tentu berdasarkan petunjuk Nabi dan dilakukan secara kolektif sehingga menjadi amalan atau tradisi penduduk Madinah.

Selain itu, munculah konsep dari Imam Abu Hanifah di Kufah dengan teori istihsan (memilih dalil yang samar ketimbang dalil yang kuat karena lebih cocok dengan situasi). Tapi teori itu dibantah Imam Syafi'i yang kurang sreg kalau baik dan buruk ditentukan oleh pandangan manusia. Imam Syafi'i berkesempatan melihat perbedaan tradisi di Madinah, Baghdad dan Mesir. Lantas Mazhab Syafi'i menawarkan kaidah al-'adah muhakkamah (menjadikan adat setempat yang tidak bertentangan dengan syariat sebagai salah satu sumber hukum Islam). Jadi, berbeda dengan Imam Malik yang hanya menerima tradisi Madinah, Imam Syafi'i menerima tradisi manapun selama tidak melanggar Syari'ah. Konsep tradisi yang bisa diterima Islam mulai bertambah luas.

Menyadari tidak selamanya bisa berpatokan pada amal ahli Madinah (apalagi kalau jaraknya semakin jauh dengan masa sahabat dan tabi'in), Mazhab Maliki menyodorkan konsep lain, yaitu mashalih mursalah (menerima aturan hukum yang tidak ada dasarnya dari Qur'an dan Hadis atau di luar tradisi penduduk Madinah namun bisa kita terima dengan dasar kemaslahatan). Sampai di sini, kita melihat ada titik kesamaan antara istihsan-nya mazhab Hanafi dan istishlah-nya mazhab Maliki: yaitu bisa menerima hal-hal yang baik meski tidak ada dalil kuat dari Al-Qur'an dan Hadis.

Demikian gambaran singkat tentang sejarah yang berisi pesan penting bahwa karena sejak awal Al-Qur'an tidak turun pada ruang yang hampa. Al-Qur'an sangat akrab dengan keseharian Nabi dan umat. Sepeninggal Nabi dan semakin tersebarnya Islam ke penjuru dunia, para ulama terus mencoba menawarkan konsep agar interaksi akrab antara Al-Qur'an dan Hadis dengan manusia terus berlangsung.

Sumber hukum Islam sekunder seperti amal ahli madinah, istihsan, 'urf (adat) dan mashalih mursalah yang kemudian diakui sebagai bagian dari dalil agama merupakan konsepan para ulama. Tepatnya hasil bacaan dan observasi para ulama akan kondisi masyarakat yang berbeda-beda lokasinya agar tetap terjalin hubungan akrab antara kitab suci dan ummat.

Perayaan rutin Nuzulul Quran sudah saatnya dimaknai oleh ummat Islam khususnya Indonesia. Peringatan Nuzulul Quran harus menyadarkan kita untuk mengikutsertakan Al-Quran dalam kehidupan keberislaman dalam keseharian. Menjadikan Al-Quran sebagai dasar beramal, patokan dalam membangun tradisi, kebudayaan maupun peradaban Indonesia. Mentradisikan Islam, mengislamkan tradisi. Membudayakan Islam, mengislamkan budaya Indonesia. Wallahua'lam.  (Penulis adalah Staff Media Centre Gerakan Islam Pengawal NKRI)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru