Globalisasi yang terjadi tidak bisa dipungkiri membawa pengaruh yang signifikan dalam segala aspek kehidupan. Termasuk aspek keberagamaan. Terlebih pada masyarakat kota yang 'tersentuh' arus modernisasi dan perkembangan zaman. Pengaruh globalisasi itu tampak pada bagaimana tradisi masyarakat kota pada bulan Ramadan sejauh ini.
Secara ringkas, terdapat gambaran bagaimana pola masyarakat dalam Ramadan. Gambaran itu adalah bahwa awal Ramadan pusat aktivitas berpusat ke masjid, pertengahan hingga jelang akhir bulan berada pada pasar sedangkan akhir bulan, masyarakat meramekan bandara/terminal/stasiun. Itulah kalimat yang berisi tradisi tahunan yang menggambarkan gaya hidup bulan puasa suatu masyarakat kota.
Pada awal-awal Ramadan, masjid hampir dipastikan penuh. Manusia berebut di shaf-shaf masjid pada saat sholat wajib maupun sholat sunnah khususnya sholat tarawih. Terlihatlah nuansa yang religius. Namun sayang, nuansa religius yang sangat luar biasa kebanyakan hanya bertahan beberapa saat. Fokus masyarakat kota beralih ke lain pihak tatkala Ramadan berjalan.
Menjelang pertengahan bulan akan banyak datang undangan berbuka bersama. Buka bersama teman kerja, alumni sekolah, keluarga besar, teman-teman yang tergabung dalam sebuah organisasi dan sebagainya. Sulit dipungkiri bahwa aktivitas bukber itu mayoritas diadakan di pasar. Ditambah lagi ada beragam sebagai menu berbuka puasa di pusat-pusat perbelanjaan dan pusat kuliner di berbagai sudut kota.
Tidak hanya berkenaan dengan konsumsi kuliner, maka konsumsi fashion juga ikut serta menyemarakkan Ramadan pada masyarakat kota. Berbagai jenis model baju religius muncul menjadi trend fashion yang menarik minat masyarakat untuk membeli atau minimal melihat-lihatnya. Apalagi pusat pembelanjaan modern menawarkan harga dengan diskon gila-gilaan. Budaya shoping baju baru untuk dipakai di hari raya atau di bulan Ramadan.
Hasil dari itu semua, maka pada pertengahan bulan Ramadan hingga jelang akhir, masyarakat kota akan terlihat sibuk di pasar. Sibuk mengatur jadwal berbuka, dimana, dengan siapa serta menentukan menu pilihan berbuka puasa. Selain itu, pasar juga dipenuhi orang-orang yang hunting pakaian sehingga mall penuh sesak, antrian di kasir panjang untuk melakukan pembayaran. Belum lagi, para ibu yang mencari-cari bahan membuat kue untuk berhari raya.
Bersamaan dengan itu, shaff masjid pada waktu sholat tidak sepadat di awal. Jumlah jama'ah sholat tarawih menurun drastis. Banyak manusia yang tidak 'mampu' lagi ke masjid akibat lelah setelah buka bersama atau berjalan-jalan di pusat belanja. Masyarakat pun lebih banyak memilih istirahat menonton hiburan di layar kaca ketimbang bercengkrama dengan sesama di masjid secara berjamaah.
Di akhir Ramadan, masyarakat kota selain memenuhi pasar mereka juga menjubeli terminal transportasi baik itu terminal bis, airport maupun stasiun. Mereka mempersiapkan lebaran dan pulang ke kampung halaman. Kendati semua harga membumbung naik, mereka ikhlas dan tetap semangat berbelanja dan bersiap mudik.
Demikianlah, gambaran budaya puasa masyarakat kota. Budaya yang dapat menggeser makna dan hakikat tujuan itu sendiri. Bahwa puasa sejatinya untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Bukan mengajarkan manusia untuk mementingkan hasrat pribadi. Puasa memang merupakan ibadah privat namun berdampak sosial. Dengan mengalami lapar dan haus, harusnya muncul sikap empati akan keprihatinan hidup orang lain. Sehingga memunculkan kepedulian pada orang lain dan jauh dari sikap kemewahan.
Lantas bagaimana dahulu budaya masyarakat kota di era Rasulullah dan generasi Islam terbaik dahulu? Cukup jauh dari tradisi masyarakat kota sekarang.
Suasana Ramadan kala itu penuh dengan nuansa ibadah, perjuangan dan sosial. Bulan puasa bukan bulan banyak hiburan sebagaimana sekarang. Akan tetapi pada bulan itu justru banyak momentum perjuangan seperti Badar dan Fathu Makkah. Masjid ramai dari awal hingga akhir. Pada Masa kekhalifahan Umar dimulai sholat tarawih berjamaah, beliau juga menyalakan pelita di masjid sepanjang malam bulan Ramadan.
Kecenderungannya malah masjid semakin menjadi pusat aktivitas masyarakat di akhir-akhir bulan. Sepuluh hari terakhir ummat berburu lailatul Qadar. Tradisi itu ditandai dengan digelarnya iktikaf dan memperbanyak ibadah dan taqarrub ilaAllah di dalam masjid. Mereka mengencangkan ikat pinggangnya untuk beribadah dan rela tidur bermalam di masjid untuk beribadah.
Ada baiknya menilik budaya puasa masyarakat kota sekarang dan membandingkannya dengan generasi terbaik dulu. Tentunya diikuti dengan upaya membenahi budaya atau tradisi yang dapat menggeser hikmah ibadah puasa. Tahun ini kita perlu memikirkan bagaimana justru di sepuluh hari pertama, kedua dan terakhir masjid tetap menjadi pusat aktivitas. Apalagi di sepuluh hari terakhir Ramadan, masjid harusnya penuh karena adanya Lailatul Qadar.
Budaya ataupun tradisi sebuah masyarakat tentunya terbentuk dari perilaku pribadi. Untuk merubah sebuah tradisi haruslah dimulai dari diri sendiri. Ramadan seyogyanya kita manfaatkan untuk meningkatkan kualitas spiritual. Jangan sampai yang didapati dari Ramadan hanya rasa lapar dan dahaga tapi tidak mengikis gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Selain itu, patut juga memikirkan momentum mudik yang tepat tanpa harus meninggalkan keutamaan 10 hari terakhir Ramadan, karena di situlah saat sakral Lailatul Qadar terjadi.
Penutup
Bulan Ramadan adalah momentum untuk mendekatkan diri pada Allah serta sarana pemenuhan kebutuhan spiritualitas. Seyogianya dioptimalkan semaksimal mungkin. Berdasarkan sejarah, masjid adalah pusat aktivitas manusia di Ramadan. Hendaknya arus globalisasi tidak membuat fokus utama kita beralih dari masjid ke pasar. Semoga menjadi bahan pikiran kita semua. Happy Ramadan 1438 H. Wallahua'lam.
(Penulis adalah Staff Media Centre Gerakan Islam Pengawal NKRI/h)