Medan (SIB) -Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Sumatera Utara mengisyaratkan Rumah Sakit Haji Medan (RSHAM) tetap menjadi aset umat Islam sebagai harta wakaf mengingat sejak awal berdirinya untuk mengenang musibah haji Terowongan Mina tahun 1990.
Karena itu Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 78 Tahun 2014 dan Perda Nomor 11 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Haji Medan tidak serta merta menjadikan RSHAM sebagai aset negara.
Karenanya BWI mengkhawatirkan lahirnya Perda Nomor 11/2014 itu menjadi proses sistemik sehingga aset wakaf RS Haji Medan menjadi bagian dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). "Padahal RS Haji adalah aset umat dan menjadi inventaris umat dan tetap merupakan aset umat Islam," kata Sekretaris BWI Perwakilan Sumut, Drs. H Syariful Mahya Bandar kepada wartawan, Minggu (23/7).
Diakui bahwa BWI tidak akan mampu mengelola RS Haji Medan. Karena itu, kalaupun Pemprovsu yang mengelolanya maka posisinya sebagai Nazir Wakaf RS Haji Medan yang bertanggung jawab kepada umat.
Karenanya, mantan Kakanwil Kemenagsu dan Direktur Pengelolaan Dana Haji Kemenag RI ini menilai ada keganjilan ketika mempertanyakan aset RS Haji di inventaris negara ternyata tidak terdaftar. "Jadi ini bukan persoalan pengambil alihan pengelolaan, tapi bagaimana agar aset RS Haji Medan tetap menjadi inventaris umat Islam," kata Mahya.
Diungkapkannya hasil Musda ke-8 MUI Provsu beberapa waktu lalu yang merekomendasikan bahwa RS Haji merupakan harta wakaf. Kemudian menunjuk Badan Wakaf Indonesia sebagai Nazir.
Pun begitu, ungkap Mahya tidak serta merta menjadikan BWI sebagai nazir. Sebab untuk itu harus ada Akta Ikrar Wakaf. Menurut dia, kalau hal itu bisa terjadi, maka BWI bisa saja melakukan kerja sama dengan yayasan tertentu untuk mengelola rumah sakit tersebut.
Untuk itu, ungkapnya pentingnya segera dilakukan duduk bersama seluruh organisasi besar Islam untuk mendapatkan jalan keluar terbaik bagi pengelolaan RS Haji Medan.
Diungkapkannya, ide awal pendirian RS. Haji Medan berawal dari musibah/tragedi Terowongan Mina Saudi Arabia tahun 1990 yang telah mempertautkan keinginan para ulama dan tokoh-tokoh Islam untuk mendirikan Rumah Sakit Islam di tanah milik Yayasan Islamic Center Medan seluas 17 hektare.
Berdasarkan SK Gubernur Nomor : 193.4/239/K Tahun 1983. Pembangunan RS. Islam ini dimaksud karena Pemerintah Indonesia berkeinginan mengabadikan peristiwa Terowongan Mina tersebut dalam bentuk bangunan monumental yang akan dikenang umat sepanjang masa untuk mengenang para suhada Mina (Jemaah Haji yang wafat pada musibah/tragedi Terowongan Mina tersebut) pada 4 Kota/Provinsi yaitu Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar.
"Itulah sebabnya pada awalnya Rumah Sakit Haji Medan dibangun diberi nama Rumah Sakit Haji Syuhada Mina," ungkapnya.
Keingginan tersebut, diwujudkan oleh Pengurus Yayasan Islamic Center Medan dengan menyerahkan tanah seluas 6 hektare untuk pertapakan rumah sakit tersebut dan sumber dana pembangunan awalnya berasal dari Bantuan Pemerintah Saudi Arabia, Bantuan Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), Bantuan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, swadaya umat Islam melalui infak, zakat, tabungan dan lain-lain serta bantuan dari Pemda se-Sumatera Utara.
Dari awal pembangunan RS. Haji tersebut baik lahan maupun sumber dana jelas merupakan aset umat Islam yang dikategorikan sebagai wakaf, ujarnya.
Mantan Sekdaprovsu, H Abdul Wahab Dalimunthe ketika ditemui sebelumnya menyampaikan, semasa masih menjabat sebagai Sekda mengetahui bahwa RS Haji Medan merupakan milik umat Islam."Tapi dalam proses selanjutnya tentu tidak mengikutinya dan belum mengentahui secara pasti," ungkap anggota DPR RI ini.
Begitupun Wahab mengusulkan agar pengelolaan RS Haji Medan semata-mata demi kemajuan dan kemaslahatan umat.
(R11/l)