Tanggal 1 Oktober biasanya diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Hari Kesaktian Pancasila memiliki sejarah yang menjadi bagian perjalanan bangsa ini. Sejarah hari Kesaktian Pancasila tidak terlepas dari terjadinya pemberontakan G30S yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Penetapan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila berawal dari insiden yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Insiden ini diduga kuat merupakan ulah PKI dalam rangka mengubah Pancasila menjadi ideologi bagi kaum komunis.
Pada insiden ini, 6 orang jenderal dan satu kapten serta beberapa orang lainnya tewas oleh oknum-oknum yang digambarkan pemerintah sebagai upaya kudeta terhadap bangsa mereka sendiri. Gejolak yang timbul akibat G30S sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer Indonesia. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Hal ini juga sebenarnya juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang tak terpisah dari agama (Tuhan).
Pancasila dari perspektif Maqasid Syariah (Tujuan Syariah)
Secara terminologi, menurut Imam as-Syatibi, Maqasid Syariah merupakan tujuan hukum yang diturunkan Allah SWT, atau penjabarannya adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Untuk dapat mengetahui tujuan hukum tersebut dapat ditelusuri lewat teks-teks al-Qur'an dan as-sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.
Maqasid Syariah ini, juga merupakan metode yang dikembangkan untuk mencapai dari dilaksanakannya syari'ah yaitu kemaslahatan umat manusia, Imam as-Syatibi membaginya kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyyah (tertier). Kebutuhan Daruriyyah adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menurut Imam as-Syatibi, ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu; memelihara agama (hifdz al-din), memelihara jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara keturunan/ kelangsungan (hifdz al-nasl), dan yang terakhir adalah memelihara harta benda (hifdz al-mal).
Kebutuhan Hajiyyah adalah ialah kebutuhan sekunder, dimana dalam tingkatan ini bila kebutuhan tersebut tidak dapat diwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami hambatan dan kesulitan. Misalnya untuk melaksanakan ibadah shalat sebagai tujuan primer maka dibutuhkan berbagai fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan untuk memelihara agama (hifd al-din) tidaklah gagal atau rusak secara total tetapi akan mengalami berbagai kesulitan. Sedangkan Kebutuhan Tahsiniyyah, ialah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan kesulitan. Tingkatan kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap atau tertier.
Para bapak bangsa, telah menitipkan Pancasila yang bernafaskan Maqashid Asy Syari'ah (tujuan diturunkannya syari'at) yang paling pokok ad-daruriyah untuk menjadi dasar negara ini. Lima hal itu; pertama adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama) yang disederhanakan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa) yang diejawantahkan dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga Hifzhun Nasl (Menjaga Kelangsungan) yang diringkas dalam sila Persatuan Indonesia. Keempat Hifzhul 'Aql (Menjaga Akal) yang diwujudkan dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dan kelima, Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan) yang diterjemahkan dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam hal ini, jelaslah bahwa dengan prinsip Maqasid Syariah, bagaimana nilai-nilai yang terkandung (substansi) dari Pancasila sejalan dengan syariat islam dengan mengutamakan azas kemaslahatan yang merangkul seluruh warga negara.
Buya Hamka dalam suatu kritiknya terhadap Soekarno menyatakan bahwa kita perlu menemukan akar tunjang dari Pancasila, dan itu adalah sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Dimana menurut penulis, di sinilah sumber utama kesaktian dari Pancasila itu. Konteksnya, dalam penegakan NKRI seharusnya penanaman dan penguatan nilai agamalah yang terlebih dahulu dilakukan tehadap kehidupan masyarakat. Sebagaimana sejarah kesaktian Pancasila, bahwa komunisme tidak punya tempat di Indonesia, karena Indonesia didasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berangkat dari itu, para pemimpin dan rakyat Indonesia yang mewarisi Pancasila haruslah melaksanakan kelima hal tersebut; menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga kelangsungan, menjaga akal, dan menjaga kekayaan; dengan segala perwujudannya dalam kemaslahatan bagi rakyat Indonesia. Oleh Karena itu, wacana semisal menghapus kolom agama di KTP, mengesahkan perkawinan sejenis, mencabut tata izin pendirian rumah ibadah, pengalaman masa lalu penjualan asset-aset bangsa, perilaku menghina agama dan juga perang saudara adalah hal yang tidak relevan jika ada di dalam negeri ini. Apalagi jika membiarkan paham atheis dan komunis kembali berkembang di Indonesia. Wallahua'lam.
(Penulis adalah Staff Media Centre Gerakan Islam Pengawal NKRI/h)