Al-Quran mengajarkan kepada umat Islam agar tidak mudah putus asa. Putus asa dalam al-Quran diungkap dengan dua redaksi, yakni yai'asu dan yaqnat.
Keduanya dikaitkan dengan sifat yang berkonotasi negatif. Redaksi yai'asu disebutkan dalam QS Yusuf ayat 87.
Allah berfirman, "Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Dalam ayat tersebut nasehat Nabi Yakub kepada putra-putranya saat saudara tiri mereka, Bunyamin ditahan penguasa Mesir. Nabi Yakub memerintahkan mereka kembali ke Mesir tanpa disertai rasa putus asa. Nabi Yakub mengatakan putus asa merupakan tanda kekufuran. Hanya orang-orang kafir yang berputus asa.
Menurut Imam ar-Razi, putus asa hanya bisa terjadi ketika seseorang meyakini Tuhan tidak memiliki kemampuan mewujudkan harapannya, atau Tuhan tidak mempunyai pengetahuan tentang kebutuhannya atau bahkan meyakini Tuhan adalah Zat yang pelit. Keyakinan seperti itu hanya terjadi pada orang yang kufur.
Orang yang beriman kepada kebesaran Tuhan tidak akan berpikir seperti itu.
Orang yang beriman dan bertakwa tidak pantas berputus asa. Iman yang sejati pasti menggerakkan kesadaran setiap diri untuk memahami dan menyadari kekuasaan Allah. Sikap takwa akan selalu mendekatkan diri seseorang kepada Tuhannya. Dengan itu, rahmat Allah akan tercurah. Para nabi adalah contoh nyata bagaimana iman dan takwa mampu menampilkan pribadi tangguh menghadapi dan menyelesaikan masalah.
Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa sikap berputus asa dari rahmat Allah adalah dosa besar sederajat dengan merasa aman dari makar Allah. Dari riwayat Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa Rasulullah suatu ketika ditanya tentang dosa besar. Rasul menjawab, "Dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar Allah."
Dalam hadist tersebut terdapat isyarat bahwa orang yang berputus asa dari rahmat Allah hakikatnya adalah orang yang tidak menyadari dan tidak meyakini bahwa kehidupan ini diatur oleh Allah. Mereka juga bisa jatuh kepada sikap meragukan kekuasaan Allah. Sikap seperti ini hampir tidak jauh beda dari menyekutukan Allah, karena peran dan kuasa Allah tidak lagi diyakini secara mantap oleh mereka.
Allah Swt berfirman dalam QS Al-Hijr ayat 56, "Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat". Ayat tersebut menggunakan redaksi yaqnut. Yaqnut memiliki arti putus harapan (qat'u al-raja'). Yaqnut dikonotasikan negatif karena dikaitkan dengan kesesatan (ad-dhallin). Kekufuran dan kesesatan dalam al-Quran sama-sama berkonotasi buruk. Al-Quran sering menggunakan kedua kata tersebut secara bergantian dengan maksud yang sama.
Dengan tegas, dalam ayat di atas, Al-Quran menyebut orang yang putus asa sebagai sesat. Adapun rangkaian ayat berkisah tentang Nabi Ibrahim yang kedatangan tamu dari golongan malaikat. Mereka membawa kabar gembira bahwa Nabi Ibrahim bakal mendapat anak setelah sekian tahun menunggu. Mereka berpesan agar Nabi Ibrahim tidak berputus asa. Nabi menimpali, tidak ada orang yang putus asa dari rahmat Tuhan, kecuali orang-orang yang sesat.
Dua ayat di atas melarang umat manusia khususnya orang beriman untuk berputus asa. Larangan putus asa ialah ajaran para nabi. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, "Allah menciptakan rahmat pada hari penciptaannya dalam jumlah seratus buah. Dia menyimpan sembilan puluh sembilan rahmat di sisi-Nya dan memberikan satu rahmat kepada makhluk-Nya. Bila saja orang kafir tahu seluruh rahmat Allah itu, niscaya mereka tidak akan putus asa dari mendapatkan surga Tuhan. Bila seorang mukmin tahu kepedihan siksa Allah, maka dia tidak akan merasa aman dari neraka-Nya." (HR al-Bukhari). Putus asa ialah buah salah pikir dan putus asa adalah tanda kesesatan.
Islam mengajarkan bahwa semakin sulit ujian dan musibah, berarti semakin dekat jalan keluar dan pasti ada jalan keluar dari kesulitan dan ujian tersebut. Hal itu terdapat antara lain dalam QS Ath-Thalaq ayat 7, Al-Baqarah : 214 dan Asy-Syarh: 5-6.
Ibnu Rajab Al Hanbali menceritakan Abu Ubaidah ketika dikepung (oleh musuh), lalu ia menulis surat kepada Umar radhiyallahu 'anhu: "Kesulitan apapun yang didapati oleh seseorang maka Allah akan menjadikan setelahnya kemudahan, dan sesungguhnya tidak akan pernah menang satu kesulitan melawan dua kemudahan."
Kemudian Ibnu Rajab menjelaskan rahasia menarik kenapa semakin sulit kesulitan maka semakin dekat solusi dan jalan keluar. Ia menjelaskan bahwa kesulitan jika bertambah kuat, bertambah besar dan bertambah memuncak, maka terjadi pada seorang hamba keputus asaan untuk (meminta) jalan keluarnya dari sisi para makhluk, dan akhirnya hatinya terpaut dengan Allah semata, inilah dia tawakkal kepada Allah yang hakiki, dan ia adalah termasuk dari sebab-sebab yang dicari dengannya hajat-hajat, karena sesungguhnya Allah akan mencukupi siapa yang bertawakkal kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dia lah pencukupnya.
Islam juga mengajarkan bahwa Tuhan tidak akan membebani seseorang melebih kemampuan orang tersebut. Hal itu dijelaskan Ibnu Katsir saat menafsirkan QS Al-Baqarah ayat 286. Bahwa Allah tidak akan membebani seseorang di atas kemampuannya, dan ini adalah dari kelembutan Allah Ta'ala dari makhluknya dan kasih sayang-Nya serta kebaikan-Nya kepada mereka.
Penutup
Islam mengajarkan ummatnya agar tidak berputus asa. Putus asa adalah sikap kufur dan sesat. Sebab ia hakikatnya menyepelekan Tuhan. Seorang yang beriman harus yakin bahwa segala ujian yang dihadapi di dunia semua dapat diatasi dengan baik serta yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan kecuali mampu dipikul oleh hamba-Nya. Wallahua'lam.
(penulis adalah Kabid Humas Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia Kota Medan/l)