Islam Nusantara kembali menjadi bahan perbincangan akhir-akhir ini. Ada pro dan kontra terhadap istilah yang awalnya dimunculkan oleh Ormas Nahdhatul Ulama tersebut. Di sisi lain, Muhammadiyah mengusung frasa 'Islam Berkemajuan'. Islam Nusantara menjadi tema utama dari Muktamar NU pada tahun 2015 lalu.
Sumatera Utara sendiri patut berbangga jika membahas Islam Nusantara. Maret 2017 lalu, Presiden Jokowi meresmikan Prasasti Kilometer Nol Islam Nusantara di Kota Barus Tapanuli Tengah.
Terkait pro kontra, orang-orang yang menolak istilah Islam Nusantara beranggapan bahwa Islam sudah final dan tak perlu menyertakan keterangan lain untuk menegaskan Islam yang satu. Sementara pendukungnya berpendapat bahwa Islam Nusantara merupakan corak Islam yang genuine (Ahlussunnah wal Jamaah) dan tepat diaplikasikan di masyarakat Indonesia yang majemuk.
Menurut Rois 'Am PBNU yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'rif Amin (2015), setidaknya ada lima penanda Islam Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan selalu berorientasi pada perbaikan.
Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika suatu gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan. Ketiga, tatawwu'iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, tidak boleh memaksakan pada pihak lain (la ijbariyyah).
Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan. Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif.
Sementara itu, Islam Nusantara memiliki tiga aspek yakni aspek fikrah, harakah dan amaliyah. Aspek fikrah, yaitu cara berfikir yang moderat, artinya tidak tekstual (hanya berpegang pada nash) tetapi juga tidak liberal. Adapun dimaksud aspek harakah adalah terdapat upaya ishlahiyyah dalam diri Islam Nusantara, yaitu melakukan perbaikan.
Selanjutnya aspek amaliyyah bahwa amalan yang dilakukan lahir dari dasar pemikirannya yang melandaskan diri ushul fiqh dan fiqh. Seperti tradisi-tradisi dan budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat, tidak begitu saja diberangus, namun dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.
Terkait istilah, Salim A Fillah (2017) memandang dari sudut pandang berbeda dengan memberi sandaran berupa satu kata ataupun frasa di belakang kata Islam rasanya tidak perlu, juga merepotkan. Frasa "kaaffah" dan "rahmatan lil 'aalamiin" pun ketika digandengkan dengannya menjadi "Islam Kaaffah" serta "Islam Rahmatan lil 'Aalamiin" telah bermasalah sejak pengambilan asalnya.
Dalam susunan ayat 108 surat Al-Baqarah, kata "kaaffatan.. secara keseluruhannya" adalah kata keterangan untuk "udkhuluu.. masuklah kalian." Jadi yang kaaffah adalah masuknya. Yakni masuklah secara kaaffah ke dalam Islam. Sementara itu, Islam Rahmatan Lil 'Alamin juga kurang tepat sebab ayat "Dan tidaklah kami utus engkau wahai Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS Al Anbiya' [21]: 107) adalah keterangan untuk "arsalnaaka.. Kami utus engkau".
Salim A Fillah justru mengajak agar lepas dari istilah dan fokus pada dakwah Islamiyah. Bahwa Nusantara ini diasasi berkah da'wah Ulama, para Wali dan Kerajaan khususnya Sultan Demak. Ketika itu, para Sultan dekat dengan para Ulama. Tunduk pada Majelis Syuraa para Ulama di masjidnya. Di Pulau Jawa, Wali Songo adalah bukti tentang betapa terencana dan rapinya kerja tim dakwah yang dibangun.
Satu "tim" beranggotakan hanya beberapa mu'allim yang dalam waktu kurang dari 50 tahun atas izin Allah mampu menjadikan kerajaan besar yang tegak dengan Hindu dan Budha sebagai agama resmi, nyaris semua penduduk jazirah intinya bersyahadat.
Para dai tersebut mencintai Nusantara dan aktif membangunnya. Ingatlah bagaimana misalnya Maulana Malik Ibrahim yang ahli irigasi dan persawahan menjawab persoalan pangan. Bagaimana Maulana Maghribi I yang ahli ruqyah mengalahkan para dukun, klenik, tempat angker, dan sihir. Maulana Ahmad Jumadil Kubra mendakwahi para penduduk gunung yang dikeramatkan. Maulana 'Aliyuddin dan Taqiyyuddin menekuni pengajaran di pelabuhan-pelabuhan. Maulana 'Ali Rahmatullah mendirikan sekolah kasatriyan di Ampeldenta untuk mengatasi krisis ketatanegaraan Majapahit.
Sunan Ngudung dan Maulana Ja'far Ash Shadiq menjawab persoalan strategi perang dan keprajuritan. Begitupula Sunan Kalijaga menggubah budaya Islami untuk memassifkan tabligh; kita semakin takjub tentang bagaimana tim ini bekerja.
Penutup
Islam Nusantara, satu istilah yang jadi prokontra. Tetapi, sejatinya umat Islam tidak terpaku hanya kepada frasa-frasa kata. Lebih baik fokus pada bagaimana mendakwahkan Islam. Bagaimana pemerintah duduk bersama ulama yang cinta nusantara ini serta membangun tim dakwah yang kuat. Wallahua'lam. (Penulis adalah Pengurus Gerakan Islam Pengawal NKRI/c)