Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Sabtu, 28 Juni 2025

Puasa Sebagai Sarana Mempererat Ukhuwah Wathoniyah

* Oleh: Mukti Ali Harahap MSi (Sekretaris PCNU Deliserdang)
- Jumat, 31 Mei 2019 12:04 WIB
524 view
Puasa Sebagai Sarana Mempererat Ukhuwah Wathoniyah
Para ulama mendefenisikan puasa sebagai sebuah ibadah mulia yakni dengan menahan tidak makan dan minum serta yang membatalkan lainnya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari karena Allah SWT. Ibadah puasa merupakan ritual yang telah berusia lama karena telah diamalkan dan dilaksanakan umat manusia sejak zaman dahulu. Praktek keagamaan tersebut telah dinukil dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu mudahan-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa"

Banyak hikmah yang didapat apabila seseorang menunaikan ibadah puasa secara berkualitas. Di antaranya puasa mengajarkan agar kita menjadi disiplin, puasa juga menempa menjadi insan yang sabar, mengajarkan agar berjuang dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati, menanamkan rasa simpati dan empati kepada orang lain yang tidak mampu, menumbuhkan keikhlasan sejati, serta mengajari untuk bisa mengendalikan diri dan hawa nafsunya. Kesemua hikmah itu tentu dilandasi karena adanya spirit puasa yakni shoum atau menahan. Apabila tidak mampu menahan dan meningkatkan ibadah maupun amal saleh lainnya maka puasa itu hanya menjadi ritual formal belaka, tidak bernilai, tidak lebih dari sekadar kemampuan untuk menyelesaikan kewajiban selaku muslim sebagaimana perintah dalam rukun Islam. Rasulullah SAW telah bersabda "Betapa banyak orang-orang yang berpusa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain dari rasa lapar dan haus semata".

Puasa sejati atau puasa khowas sesungguhnya menghendaki pelakunya tidak sekadar menahan makan dan minum, tetapi pada saat yang bersamaan dapat meningkatkan ibadah vertikal dan sosial serta mengedepankan akhlakul karimah terhadap sesama muslim, non muslim dan sesama anak bangsa. Orang yang berpuasa tentu akan menjadi mulia karena puasanya, di sisi lain juga harus mampu memuliakan orang lain apakah karena puasa ataupun tidak, seagama maupun penganut keyakinan yang berbeda.

Oleh karena itu berpuasa bukan berarti harus dimuliakan apalagi minta diistemewakan dengan menafikan hak-hak orang lain seperti tidak diperkenankannya rumah makan buka pada siang hari, melarang orang lain makan, minum, merokok di depan orang yang berpuasa. Hal-hal seperti itu sebenarnya adalah ujian terhadap kualitas puasa kita dan sejauhmana kita dapat menahan diri terhadap godaan-godaan yang datang pada saat berpuasa.

Pentingnya kemampuan untuk menahan dan menghargai tersebut salah satu didorong oleh realita masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari suku, bahasa dan keyakinan. Di samping itu negara telah menjamin setiap orang bebas melaksanakan kepercayaannya termasuk aktivitas lainnya pada siang hari termasuk pada bulan Ramadan dimana umat Islam sedang berpuasa. Dalam bahasa kesehariannya, kondisi seperti hal tersebut di atas disebut dengan ukhuwah wathoniyah atau persaudaraan sebangsa.

Ukhuwah terbagi tiga, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama bangsa), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiganya saling terkait karena ukhuwah insaniyah tak akan dicapai jika kedua ukhuwah lainnya belum tercapai. Sedangkan kedua ukhuwah yang lain (ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah) akan saling melengkapi. Jika melupakan ukhuwah wathaniyah, tentu akan timbul fanatisme terhadap Islam sehingga non muslim akan diabaikan hak-haknya. Sedangkan jika melupakan ukhuwah Islamiyah, tentu akan terjadi pemikiran yang sempit yang dibatasi sekat-sekat kenegaraan sehingga melupakan derita yang ditanggung oleh muslim lainnya.

Bangsa Indonesia walaupun dengan penduduk mayoritas muslim sangat rentan dengan timbulnya perpecahan sesama anak bangsa, bahkan disintegrasi, karena keragaman yang mengedepankan etnonasionalisme, ego kesukuan, perbedaan pilihan politik dalam pesta demokrasi. Bahkan munculnya faham keagamaan transnasional yang cenderung radikal bisa menjadi pemicu rusaknya tatanan sosial keagamaan yang telah terbangun selama ini. Oleh karenanya puasa diharapkan mampu mempererat ukhuwah wathoniyah.

Yang diinginkan ukhuwah wathaniyah adalah timbulnya rasa untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Konsensus ini harus terbangun dari lingkup terkecil hingga yang paling besar sehingga dapat dipraktekkan dengan baik. Mulai dari hal-hal sederhana tentang bagaimana berinteraksi dengan tetangga ataupun masyarakat di lingkungan hingga yang lebih besar seperti bagaimana negara mengatur kehidupan umat beragama agar senantiasa rukun dan tidak terjadi konflik antar sesama bangsa.

Puasa Ramadan memang milik umat Islam, namun kenyataannya puasa telah menghampiri seluruh umat di dunia ini termasuk di Indonesia dimana penduduknya beragam keyakinan dan agama. Karena itu dengan spirit "menahan" sebagai makna utama puasa dan menghargai maka diharapkan ibadah ini mampu merekatkan hubungan sesama warga negara Indonesia, mengencangkan ikatan sosial menuju terbinanya negara yang maju dan religius. Apabila ada potensi yang merusak tata hubungan masyarakat, puasa menjadi solusi dan sebagai benteng pengawal rasa kebersamaan dalam satu nasib, serta menumbuhkan semangat saling membantu sebagai fondasi dasar ukhuwah wathoniyah.

Ajakan agar rukun dalam keragaman dan kebersamaan sebagai satu bangsa sangat diperlukan. Dan sesungguhnya telah diajarkan oleh nabi-nabi terdahulu, bahkan oleh Rasulullah SAW. Dalam QS Al-'A'raf ayat 65 Allah berfirman "dan (Kami telah mengutus) kepada kaum "Aad saudara mereka, Hud, ia berkata "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?"

Demikian halnya Nabi Muhammad SAW yang telah mampu mempersatukan umat Islam meski dengan berbagai latar etnik seperti Quraisy, Khajaraz, Aus, Persia, Romawi. Beliau bisa menggandeng berbagai agama dan keyakinan dalam membangun negara baru di Madinah dengan hak dan kewajiban yang adil di depan hukum yang disepakati, yang lebih dikenal dengan Piagam Madinah sebagai fondasi terbentuknya civil cociety baru di bawah kepemimpinan Nabi.

Menurut Baginda Nabi, kemuliaan seseorang diukur dari ketaqwaannya. Dan ketaqwaan itu sekali lagi bukan karena pakaian, atau karena banyaknya ibadah kepada Allah. Namun tidak kalah pentingnya yakni ibadah sosial kepada sesama manusia, alam, dan akhlakul karimah. Betapa pentingnya taqwa itu bagi manusia maka harus ditempa dengan ibadah khusus puasa selama sebulan penuh dengan harapan mampu mewarnai kehidupan kita di sebelas bulan lainnya. (d)

SHARE:
komentar
beritaTerbaru