Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Jumat, 27 Juni 2025

Memahami Taqdir dalam Dinamika Politik

Oleh Mukti Ali Harahap MSi Sekretaris PC NU Deliserdang
- Jumat, 05 Juli 2019 17:33 WIB
376 view
Memahami Taqdir dalam Dinamika Politik
Mukti Ali Harahap MSi
Tanggal 21 Juni 2019 Mahkamah Konstitusi telah memutus sengketa PHPU Pilpres 2019 yang mengokohkan keputusan KPU tanggal 21 Mei 2019, dimana pasangan Ir H Joko Widodo dan Prof Dr KH Ma'ruf Amin sebagai capres/cawapres terpilih. MK sendiri menjadi lembaga peradilan tertinggi dalam memutus sengketa pemilu, karenanya bisa dianggap sebagai perwakilan Tuhan di bumi ini untuk menentukan nasib seseorang dalam pentas politik. Anggapan ini semakin diyakini tatkala di Gedung MK terpampang Tulisan Al-Quran Surah An-Nisa ayat 135 yang menghendaki para hakim untuk bertindak adil. Hal ini semakin dipertegas dengan beberapa statemen Ketua Hakim Konstitusi yang menyebut hanya takut kepada Allah.

Hasil pilpres ini merupakan sekelumit gambaran dari berbagai kontestasi politik di Indonesia, masih ada pileg, pemilihan gubernur, bupati/wali kota, pilkades, bahkan penentuan jabatan di pemerintahan maupun di masyarakat. Apapun kompetisi yang diikuti tetap bermuara pada menang atau kalah. Masalahnya kemudian bagaimana yang menang tidak jumawa karena menganggap raihan itu murni kemampuannya sehingga terkadang menafikan kuasa Allah, dan bagaimana yang gagal secara legowo dapat menerima kekalahannya. Tidak menyalahkan berbagai pihak, apalagi tidak mengakui pemenang dengan tetap menebar hoaks, ujaran kebencian, caci maki dan lain-lain. Hal yang demikian tentu tidak baik untuk iklim demokrasi dan pembangunan peradaban suatu bangsa dan negara. Maka selaku umat Islam bagaimana semestinya dalam menyikapi hasil akhir dari sebuah perjuangan, termasuk dalam bidang politik?

Munculnya sikap jumawa, atau tidak menerima kekalahan diawali dari pemahaman agama yang belum tepat dalam memahami rukun iman ke enam, percaya kepada qada dan qadr Allah dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini memahami taqdir dalam dinamika politik penting ditelaah kembali untuk menghindari konflik horizontal antar sesama anak bangsa, sesama umat Islam. Sebab memahami taqdir dengan cara yang tidak tepat dampaknya sangat fatal terutama dalam kedudukannya sebagai muslim dan keimanannya kepada Allah SWT.

Taqdir
Umar bin Khattab pernah meriwayatkan hadits, bahwa Rasulullah bersama sahabat pernah didatangi seorang yang berpakaian sangat putih, berambut hitam dan tidak seorang pun yang mengenalnya. Lalu bertanya kepada baginda Nabi tentang Islam, Iman dan Ihsan. Salah satu potongan jawaban Nabi Muhammad SAW bahwa Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kemudian percaya kepada taqdir-Nya yang baik dan buruk. Setelah sang penanya pergi, nabi menjelaskan "Dia itu Jibril, datang untuk mengajari kamu, agama kamu". Karena itulah para ulama telah sepakat tentang percaya kepada taqdir menjadi salah satu rukun diantara enam rukun iman sehingga menjadi penentu apakah seseorang beriman atau tidak.

Menurut Prof. DR. Quraish Sihab, taqdir terambil dari kata qaddara yang berasal dari akar kata qadara dengan makna mengukur, memberi kadar atau ukuran. Apabila Allah telah menaqdirkan, maka maknanya Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat maupun kemampuan maksimal makhluknya. Seperti halnya termaktub dalam QS Al-A'la: 1-3, Yasin: 38-39, Al-Furqon: 2, Al-Hijr: 21 dan Al-Thalaq: 3. Semua ayat Al-Quran tersebut menjelaskan tentang kekuasaan Allah SWT dalam menetapkan taqdir makhluk-Nya.

Alam semesta memiliki taqdir tidak mempunya kebebasan memilih sehingga harus tunduk dan patuh sepenuhnya terhadap satu ketentuan Allah SWT. Menurut Mahmud Syaltut dalam bukunya 'Islam Aqidah wa Syariah", manusia disatu sisi berada dalam hukum-hukum Tuhan dengan kadar tertentu. Namun apabila ia menggunakan akalnya maka bisa melampaui kemampuannya. Seperti halnya tidak bisa terbang, tetapi dengan diciptakannya pesawat maka manusia bisa terbang seperti burung. Di samping itu manusia diberikan Allah kemampuan untuk memilih hukum-hukum tertentu dengan konsekwensi yang berbeda. Misalnya, apabila ingin sukses maka bekerjalah dengan sungguh-sungguh dengan memperhatikan segala aspek yang terkait dengan tujuan dimaksud. Kemampuan memilih tersebut merupakan ketetapan Allah, manusia tidak dapat luput dari taqdir baik dan buruk. Maka taqdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sembari memohon bantuan Allah SWT.

Politik dan Munculnya Mazhab Teologi Islam
Munculnya berbagai firqah dalam ilmu tauhid (teologi Islam) sesungguhnya diawali dari persoalan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW dan semakin kentara ketika terjadi transisi kekuasaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib kepada Muawiyah. Menyikapi masalah tersebut menurut Prof. DR. Harun Nasution dalam bukunya "Teologi Islam" menyebutkan setidaknya telah memunculkan tujuh arus utama aliran teologi dalam Islam yakni golongan Khawarij, kaum Syiah, kelompok Murjiah, Mu'tazilah, Qodariah, Jabariah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Khawarij awalanya adalah kelompok pendukung Khalifah Ali, tetapi karena tidak setuju dengan arbitrase antara Ali dan Muawiyah apalagi dengan tindakan curang yang dilakukan Amr bin Ash selaku delegasi Muawiyah akhirnya mereka keluar "kharaja" dan membuat kekuatan sendiri dengan berdasar pada hukum Allah dan tidak ada hukum selainnya -tentu dengan penafsiran mereka- dalam menyelesaikan segala masalah. Yang tidak sependapat dengannya dianggap kafir dan harus dibunuh, termasuk Ali. Dalam sejarah Islam kelompok ini kemudian dikenal menjadi cikal bakal munculnya radikalisme secara masif. Golongan kedua adalah Syiah yang menjadi pendukung Imam Ali, bahkan mereka berpendapat Abu Bakr, Umar dan Utsman telah merampas kekuasaan dari Ali yang seharusnya menjadi khalifah pertama pengganti Nabi Muhammad SAW.

Kedua mazhab ini memiliki ciri yang sama, yakni menganggap kelompoknya lah pemilik kebenaran dan menafikan pendapat orang lain atau mazhab lain. Tidak patuh apalagi hormat kepada pemimpin terpilih yang telah dibuat umat Islam. Tindakan mereka tidak hanya dalam aspek pemikiran namun sampai kepada tindakan berupa pertentangan, pembunuhan dan peperangan sehingga sempat mencoreng citra Islam sebagai agama damai, menghargai pluralitas pemikiran dan faham keagamaan.

Munculnya mazhab As'ariyah menjadi solusi dalam memahami taqdir dan hubungannya dengan politik. Kelompok yang lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah ini memahami bahwa Allah telah mengatur taqdir manusia melalui hukum-hukumnya (qada),
manusia diberikan kebebasan untuk memilih mana yang dikehendakinya sembari berserah diri kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin namun hasil akhir merupkan hak prerogative Allah yang tidak bisa diinterfensi manusia.
Moderasi faham ini telah mengantarkan mazhab ini menjadi faham yang paling banyak dianut umat Islam di seluruh dunia dimana salah satunya menjadi mazhab mayoritas di Indonesia.

Demikian halnya dengan kontestasi yang telah berlangusng di Indoneisa hendaknya kita kembali kepada taqdir baik dan buruk dari Allah. Bahwa manusia diwajibkan berikhtiar dengan keputusan final berada ditangan Allah. Apabila kita meyakini hal ini maka sesunggunya keputusan MK misalnya telah mengakhiri sengketa PHPU, terlepas dari adanya ketidakpuasan namun harus diyakini bahwa hal tersebut adalah kehendak Allah. Karenanya ujaran kebencian terutama di medsos, fitnah dan lain sebagainya mestilah dihentikan karena hal itu merupakan dosa besar. Allah mengingatkan kita bahwa di balik kesulitan ada kemudahan, dan Allah lah yang berhak untuk memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mencabutnya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Muslim yang taat adalah yang meyakini Allah lah Yang Maha Kuasa di atas segala makhluk.
Penulis adalah Sekretaris PC Nahdlatul Ulama Kab. Deli Serdang

SHARE:
komentar
beritaTerbaru