Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal. Mulai dari para rasul, orang beriman dan juga manusia secara umum diperintah-Nya untuk mengasup makanan yang halal. Sebagaimana firman-firman-Nya di antaranya dalam QS Al-Mu’minun : 51, QS Al-Baqarah : 168 dan QS Al-Baqarah : 172.
Ada sebuah relasi positif antara makanan yang dikonsumsi terhadap semangat ibadah dan penerimaan ibadah di sisi Allah. Nabi Saw dalam sebuah kesempatan pada para sahabatnya, “Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik. Allah menyuruh orang mukmin sebagaimana Dia menyuruh para rasul-Nya, â€Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.†(QS 23:52)
Juga ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.†(QS 2:172). Kemudian, beliau menyebutkan seorang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan wajahnya kotor penuh debu menadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, â€Ya Tuhanku, Ya Tuhanku.†Sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram. Dia juga diberi makan dari yang haram. Jika begitu bagaimana Allah akan mengabulkan doanya. (HR Muslim).
Dalam suatu kesempatan lain Nabi Muhammad Saw bersabda pada Ali bin Abi Thalib, â€Wahai Ali, orang yang memakan makanan halal, agamanya akan bersih, hatinya menjadi lembut dan doanya tidak ada penghalang. Barang siapa yang makanan syubhat, agamanya menjadi samar-samar dan hatinya menjadi kelam. Dan barang siapa yang mengasup makanan haram, hatinya akan mati, agamanya menjadi goyah, keyakinannya melemah dan ibadahnya semakin berkurang.â€
Di zaman sekarang ini, sebagian besar manusia mulai acuh dan berlonggar-longgar dalam hal kehalalan makanan. Padahal ketidakhati-hatian dalam soal halal-haram makanan (bermakna menikmati mencakup minuman dan sebagainya) ialah sumber segala bencana bagi diri manusia itu sendiri. Orang tak peduli lagi darimana asal makanan yang dikonsumsinya. Begitu juga tak acuh terhadap halal tidaknya makanan keluarganya.
Padahal Nabi dan salafussholih dahulu amat memperhatikan masalah makanan. Bahkan Abdullah bin Umar bahkan pernah berkata, â€Demi Allah, memastikan halalnya satu suapan ke mulutku, lebih aku sukai daripada bershadaqah seribu dinar.â€
Al-Quran sendiri menegaskan prinsip makanan yang boleh dikonsumsi ialah halal dan baik (QS 5:88, 2:168). Dua kata ini berkaitan namun tidak identik. Kedua prinsip itu mensyaratkan dua hal Pertama, hendaklah makanan didapatkan dengan cara yang halal sesuatu syariat Islam. Di samping itu, benda makanan itu juga halal dikonsumsi. Kedua, makanan yang dikonsumsi hendaklah bermanfaat bagi tubuh dan mengandung gizi, vitamin, protein sesuai kebutuhan tubuh. Makanan yang tidak baik dan haram akan merusak kesehatan dan keberimanan jika dikonsumsi.
Ibnu Qoyyim menjelaskan bagaimana makanan halal berhubungan positif dengan keberagamaan seorang hamba. â€Dengan makanan halal, zat-zat yang masuk ke tubuh menjadi ramah kepada fitrah, ia turut mensucikan darah lalu hati akan terbasuh karenanya. Hati itu yang juga menjadi kedudukan nuraninya akan senantiasa mendapat gizi dari unsur-unsur yang sehat. Sebab, tiap butir dalam makanan yang halal lagi thayyib, sesungguhnya senantiasa berzikir kepada Allah.
Hati yang semacam itulah yang mudah mengingat Allah, sebab timbulnya khasysyah, rasa takut pada-Nya. Ia terus menunduk patuh, mudah diingatkan jika lalai, mudah diluruskan jika bengkok, mudah dibetulkan jika keliru. Ia merasa diawasi Allah, melakukan muhasahab dan bermujahadah. Ia juga rendah hati pada sesama, melihat dirinya sebagai seorang yang terus belajar lagi memperbaiki diri. Inilah hati yang lembut, karena tubuhnya diberi asupan yang diridhai Allah.â€
Demikianlah makanan yang halal ialah pengokoh ketaatan. Sebaliknya, anggota tubuh yang tumbuh dari yang haram, mudah tertarik dengan kemaksiatan. Mata mudah melihat yang terlarang. Telinga senang mendengar berita dusta, ghibah. Lidah suka memfitnah, berghibah, tangan suka menganiaya serta kaki mudah melangkah ke majelis keburukan. Inilah makna dari pesan Nabi, â€Daging yang tumbuh dari makanan haram, tiada pantas baginya kecuali api neraka!â€
Dalam sebuah riwayat, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq pulang kemudian sang istri menyediakan roti beserta kuah daging di meja makan. Beliau kemudian menikmati dengan segera makanan yang terhidang. Sang istri kemudian bercerita bahwa hidangan tersebut berasal dari tetangga. Tetangga mereka yang dimaksud ialah seorang yang berprofesi sebagai dukun. Dengan seketika, Abu Bakar memasukkan tiga jari ke pangkal lidah, dan dimuntahkanlah semua makanan tersebut. Begitu gambaran ketakutan beliau dengan memuntahkan kembali apa yang sudah dimakan.
Begitupula, Nabi pernah memuntahkan kunyahan dari cucunya Husein karena khawatir masuknya makanan syubhat. Nabi takut kurma yang dikunyah Husein termasuk kurma zakat sedangkan keluarga Nabi dilarang memakan apapun dari shadaqah.
Penutup
Di zaman sekarang ini, banyak manusia yang tidak memperhatikan makanan yang dikonsumsinya dan juga keluarganya. Padahal, Allah memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik. Makanan yang halal dan baik itu akan mempengaruhi bagaimana keberislaman seseorang. Orang beriman tentunya sangat memperhatikan hal tersebut demi meraih ridho Allah dan terhindar dari neraka. Wallahua’lam. (f)