Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Sabtu, 28 Juni 2025

Halal Bi Halal Perbuatan Baik di Bulan Baik

Oleh: Fadmin Prihatin Malau
- Jumat, 31 Juli 2015 11:25 WIB
228 view
 Halal Bi Halal Perbuatan Baik di Bulan Baik
Kurang diketahui secara pasti asal-usul halal bi halal dari mana asal daerahnya, sejak kapan mulai ada acara halal bi halal akan tetapi kini sudah memasyarakat acara halal bi halal yang pelaksanaannya selama bulan Syawal. Kini, halal bi halal dilakukan hampir seluruh masyarakat muslim di Indonesia ketika bulan Syawal. Acara halal bi halal dilakukan berbagai kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi politik, lembaga, instansi pemerintah, instansi swasta dan lainnya.

Semakin keakhir bulan Syawal semakin banyak yang melaksanakan acara halal bi halal sebuah tradisi saling meminta dan memberi maaf satu dengan lainnya dalam satu komunitas. Banyak versi tentang cerita halal bi halal.

Konon ceritanya Pangeran Sambernyawa dari Keraton Surakarta, Mangkunegara I, yang mana waktu itu ada pemikiran untuk menghemat waktu dan biaya maka para punggawa dan prajurit secara serentak datang ke istana untuk melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Lantas cara itu ditiru para organisasi Islam dengan memberi istilah halal bi halal. Aktivitas halal bi halal berkembang menjadi satu budaya yang dilakukan ketika Hari Raya atau Idul Fitri. Halal bi halal menjadi budaya saling memaafkan satu dengan yang lain maka terjadi saling kunjung mengunjungi.

Sementara kata halal bi halal sepertinya Bahasa Arab akan tetapi di kalangan Bangsa Arab tidak mengenal kata halal bi halal. Sedangkan semasa Nabi Muhammad SAW ada tidak ada dilaksanakan halal bi halal. Kata halal bi halal ada dalam diserapan Bahasa Indonesia dengan arti maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada kata Halal Bi Halal yang artinya hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan disebuah tempat oleh sekelompok orang, merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia. Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada kata Berhalal Bi Halal yang artinya bermaaf-maafan pada Lebaran. Pada Lebaran kita - dengan segenap sanak keluarga dan handai tolan.

Dari paparan ini bisa dikatakan halal bi halal muncul dari hasil kreativitas Bangsa Indonesia dalam hal melahirkan bahasa serapan untuk memberi nama pada satu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri.

Bila dicermati maka kata halal berarti diperbolehkan atau diperkenankan. Kata halal merupakan lawan dari kata haram. Munculnya kata halal bi halal memiliki arti diperbolehkan atau diperkenankan atau hal yang baik dilakukan pada hari yang baik dan bulan yang baik.

Halal bi halal dapat diartikan sebagai hubungan yang baik dilakukan manusia antar manusia. Aktivitas berinteraksi manusia dalam hal yang baik pada bulan yang baik. Halal bi halal juga bisa diartikan aktivitas manusia yang tidak dilarang (halal) dan dilakukan pada hari yang baik atau halal yakni pada Hari Raya Idul Fitri.

Meskipun Bangsa Arab tidak mengenal halal bi halal akan tetapi menurut Dr. Quraish Shihab, dalam tulisannya menjelaskan bahwa halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata Bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).

Berkembang di Indonesia

Aktivitas halal bi halal tumbuh dan berkembang di Indonesia menjadi sebuah tradisi yakni berkumpulnya sekelompok orang Islam dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman atau saling memaafkan. Faktanya acara halal bi halal memang terlihat hanya dilakukan di Indonesia oleh masyarakat Islam Indonesia.

Menurut Ensiklopedi Islam, (2000), hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab mau pun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Dalam Ensiklopedi Islam, (2000) itu kata halal bi halal bukan Bahasa Arab. Ensiklopedi Indonesia, (1978), menyebutkan halal bi halal berasal dari Bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata Bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi.
 Bahasa Indonesia memang kaya dengan kata serapan dan itu baik dalam memperkaya khasanah Bahasa Indonesia sama halnya dengan kata silaturahmi yang kini juga menjadi sebuah tradisi yang turun temurun dan telah melembaga serta membudaya pada masyarakat Islam di Indonesia.

Hal yang sama juga dengan kata halal bi halal sama asal usul kemunculannya dengan kata silaturahmi. Kemudian bila dilihat aktivitas halal bi halal juga merupakan aktivitas silaturahmi sehingga ketika dilakukan acara halal bi halal sesungguhnya juga dilakukan silaturahmi. Bersilaturahmi aktivitas yang baik, begitu juga dengan halal bi halal.

Hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya, "Allah telah meletakkan dari umat ini tiga hal, yaitu kesalahan, lupa, dan perkara yang mereka tidak suka," (HR. Ibnu Majah)

Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah ini bila dikaitkan dengan aktivitas halal bi halal merupakan media atau tempat mewujudkan hadist tersebut. Setidaknya manusia telah menyadari keberadaannya (eksistensi) di permukaan bumi ini bahwa dalam diri manusia itu memiliki dua kemungkinan sekaligus yaitu kemungkinan berbuat salah dan kemungkinan lupa maka manusia harus senantiasa meminta ampun kepada Allah SWT.

Dalam ajaran Agama Islam seorang Muslim ketika melakukan salat maupun diluar salat harus senantiasa minta ampun atas kesalahan yang dilakukan manusia itu kepada Allah SWT. Harus senantiasa minta ampun kepada Allah SWT karena seorang manusia itu cenderung setiap hari melakukan kesalahan dan kelupaan maka manusia itu harus meminta ampun kepada Allah (istighfar) atas kesalahan yang dilakukannya.

Bila manusia melakukan kesalahan kepada Allah SWT maka manusia itu harus minta ampun. Namun, bila manusia itu melakukan kesalahan terhadap manusia atau sesama manusia maka manusia itu harus minta maaf.

Dalam ajaran Agama Islam, seorang Muslim harus minta maaf kepada manusia atau sesama Muslim. Hal ini sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Muhammad SAW bersabda yang artinya, "Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya," (HR. Al-Bukhari)

Hadist ini bermakna bahwa maaf atau memaafkan sesama kaum Muslimin merupakan perintah Allah SWT dan Rasullullah Muhammad SAW. Namun, maaf dan memaafkan itu apa bila seorang Muslim melakukan kesalahan atau kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) atas kezhaliman yang telah dilakukannya dan berjanji tidak akan melakukan hal yang sama.

Sebenarnya dalam ajaran Agama Islam, meminta maaf atas kesalahan kepada sesama manusia atau maaf memaafkan kesalahan sesama kaum Muslimin tidak ditentukan waktu dan tempatnya. Tepatnya apa bila seorang Muslim melakukan kesalahan kepada seseorang maka ketika sadar telah melakukan kesalahan atau melakukan kezhaliman kepada seseorang segera meminta maaf.

Dalam ajaran Agama Islam memberi maaf kepada orang yang meminta maaf merupakan perbuatan mulia. Seorang Muslim harus bisa memaafkan kesalahan orang lain meskipun orang lain itu belum atau tidak minta maaf. Terlebih lagi apa bila seseorang itu minta maaf atas kesalahan yang dilakukannya kepada seseorang maka seorang Muslim harus memberi maaf kepada orang tersebut.

Dalil yang mengkhususkan waktu dan tempat untuk meminta maaf belum ditemukan atau tidak ada. Begitu juga waktu dan tempat untuk memberi maaf akan tetapi seorang Muslim sangat mulia jika memaafkan kesalahan orang lain terhadap dirinya.

Halal bi halal kegiatan yang baik dilakukan di hari dan bulan yang baik. Kegiatan halal bi halal ini kini masih dilakukan di Indonesia saja karena di negara lain belum ditemukan kegiatan halal bi halal akan tetapi meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan kepada seseorang dan seseorang itu memaafkan kesalahan orang yang meminta maaf terjadi pada semua manusia di dunia ini. (Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, mantan Sekretaris Majelis Kebudayaan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara dan mantan Bendahara Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tapanuli Utara/k)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru