Jakarta (SIB) - Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abd Rahman Masud menyatakan, bahwa literatur kita dalam bahaya (in dangerous). Pernyataan ini diutarakan Masud karena yang mendalami literatur-literatur dan manuskrip serta khazanah keagamaan kita malah banyak orang asing. Selama ini kita melihatnya ke luar, jarang melihat ke dalam, kurang apresiasi diri, padahal kita ini memiliki khazanah kekayaan keagamaan.
“Kita memiliki manuskrip luar biasa, tapi tidak banyak dilihat,†kata Abdurrahman Masud saat kegiatan International Symposium on Religious Literature and Heritage yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di Jakarta, Rabu (16/9).
Ia mengilustrasikan, yang paling gampang saja, banyak orang yang berasal dari Jawa tidak berbahasa Jawa, orang Sunda lupa bahasa Sunda nya yang tertulis. Saat ini, generasi kita sekarang ini tidak bisa honocoroko.
“Simposium ini mengingatkan kembali, bahwa kita punya kekayaan yang banyak dan jangan sampai justru orang asing yang lebih peduli daripada kita,†ucap Masud.
Dikatakannya, simposium ini tentu tidak hanya sekedar mengingatkan, tapi agar juga harus ada take action, tidak hanya sekedar wacana, harus ada langkah-langkah konkrit. Langkah konkritnya, ujar Masud, di antaranya adalah publikasi, penerbitan bersama, penelitian-penelitian lanjutan, workshop-workshop yang lebih teknis, kemudian juga berupa tukar menukar antar bangsa, kekayaan di sana apa. “Intinya adalah soal kearifan lokal kita yang kaya tapi terlupakan selama ini,†tuturnya.
Terkait dengan langkah konkritnya, Machasin menambahkan, mungkin juga tindaklanjutnya nya adalah buku-buku itu dijadikan literatur di dalam mata kuliah di perguruan tinggi agama Islam, misalnya kalau mau belajar fiqih jangan hanya melalui buku atau karya Yusuf Qardawi saja tapi bisa juga melalui karya Soleh Darat, Syeh Nawawi Albantani. “Namun kita tidak percaya diri,†kata Machasin.
Sementara itu, Prof Dr Edwin Wieringa dari University of Cologne, German seorang ahli sastera Jawa, yang menjadi pembicara kunci pada simposium ini mengatakan, warisan Indonesian dengan naskah-naskah pentingnya bagi tidak penting bagi sebagian masyarakat Indonesia.
“Bagaimana anda melihat dan menilai warisan naskah dan khazanah Indonesian di Indonesia, bila seringkali naskah tersebut dimuseumkan saja, ada di perpustakaan sehingga tidak dikenal, karena diletakkan saja,†ujar Edwin.
Menurutnya, ini perlu dilestarikan, dan kalau mau melestarikan naskah harus disimpan baik-baik, dan harus direstorasi. Dikatakannya, sebelum tahun 900, hampir semua dokumen di Indonesia dalam bentuk naskah.
Sementara itu, Kapus Litbang Lektur dan Khasanah Keagamaan, Choirul Fuad Yusuf menandaskan, bahwa upaya menjaga dan melestarikan kekayaan khazanah dan literatur dilakukan dengan melakukan desiminasi salah satunya berpartisipasi dalam pameran buku dan naskah di Frankrut Jerman tanggal 14 Oktober 2015 nanti, digitalisasi naskah, penerbitan atau cetak karya, serta mentahqiq atau meringkas isi naskah tersebut, kemudian disebarluaskan sendiri untuk disosialisasikan.
(Pinmas/d)