Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Jumat, 27 Juni 2025

Transisi Kekuasaan dalam Dinamika Sejarah Islam

Oleh : Mukti Ali Harahap, M.Si
- Jumat, 21 Maret 2014 20:17 WIB
977 view
Transisi Kekuasaan dalam Dinamika Sejarah Islam
Kepimpinan dan pemimpin merupakan suatu hal yang sangat vital dalam bangunan sejarah Islam. Dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 30 Allah SWT telah menjelaskan bahwa tujuan hadirnya manusia dipermukaan bumi ini untuk menjadi khalifah, pemimpin sebagai pengelola alam. Bahkan Rasulullah SAW telah bersabda bahwa apabila ada tiga orang umat Islam dalam perjalanan mereka harus menentukan pemimpinnya. Dalam konteks yang lebih mikro, Nabi Muhammad juga bersabda bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut jelas dapat dirujuk dari perilaku Rasulullah sendiri, seperti dalam ibadah shalat berjamaah yang menghendaki kepemimpinan dalam diri seorang imam. Contoh aktual adalah ketika beliau hijrah ke Madinah dimana statusnya bukan saja sebagai nabi dan rasul, tetapi sekaligus pemimpin umat manusia dengan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Penunjukan langsung
Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang terpilih secara demokratis melalui proses perdebatan yang cukup panjang, Umar Bin Khatthab diangkat melalui penunjukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar setelah mendapatkan persetujuan dari para sahabat besar. Hal itu dilakukan guna menghindari pertikaian politik sesama umat Islam. Dikhawatikan kemungkinan terdapat banyak kepentingan yang ada diantara mereka yang membuat negara menjadi tidak stabil, sehingga pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Islam akan terhambat. Juga kondisi perkembangan Islam yang membutuhkan strategi cepat dimana beberapa hari sebelum Abu Bakar wafat, pasukan Islam sedang bertempur melawan tentara Persia dan Romawi.

Abu Bakar jatuh sakit dalam musim panas tahun 634 M, dan selama 15 hari dia berbaring di tempat tidur. Diriwayatkan bahwa beliau sempat naik ke atas balkon rumahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumunan di bawah. Dengan bersumpah ia mengatakan bahwa telah melakukan yang terbaik dalam menentukan penggantinya yakni Umar bin Khathab. Jawab kaum muslimin dengan jelas terdengar serempak “kami telah mendengar Anda dan kami akan menaati Anda.”

Formatur / majelis syuro
Proses pergantian kekhalifahan dari Umar bin Khatab kepada Utsman berbeda lagi dengan mekanisme sebelumnya. Dalam suasana pilu karena sakit akibat ditikam pada saat shalat Shubuh, beliau mengangkat formatur atau majelis syura yang beranggotakan enam orang. Menurut Umar sangat berat untuk memilih salah seorang di antara mereka sehingga tidak sanggup untuk bertanggung jawab baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal. Bukti kenegarawanan beliau terlihat tatkala ia tidak memasukkan dalam anggota majelis syura Sa’id bin Zaid karena merupakan anak pamannya. Juga berlaku bagi Abdullah bin Umar. Beliau khawatir akan terjadi nepotisme karena posisinya sebagai anak paman maupun anak beliau sehingga dipilih menjadi penggantinya.

Dalam proses seleksi tersebut terlihat berjalan demokratis dan cerdas, sebab para anggota formatur tersebut merupakan orang-orang pilihan dan sahabat-sahabat Rasulullah yang terbaik. Sedemikian arifnya jalan yang ditempuh hingga membutuhkan waktu selama tiga hari dan pemilihan calon hingga mengerucut kepada dua orang yakni Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Kedua sahabat ini diberikan kesempatan untuk berpidato tentang kesiapan mengemban amanah berat dimaksud dengan tetap berpegang kepada hukum Allah. Dengan perjalanan panjang, dihari keempat akhirnya formatur menyetujui pengangkatan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga dan seluruh umat Islam membaitnya.

Kehadiran Golput
Setelah Utsman meninggal pada Dzulhijjah 35 H, kaum muslimin mendatangi Ali dan membai’at beliau sebelum jenazah Utsman dimakamkan. Pada awalnya Ali bin Abi Thalib. menolak bai’at mereka. Namun karena terus didesak dengan alasan keutuhan daulah Islamiyah akhirnya Ali bersedia menerimanya. Peristiwa itu terjadi tatkala Ali ke masjid pada hari Sabtu tanggal 19 Dzulhijjah tahun 35 H.943 lalu naik ke atas mimbar dan segenap kaum muslimin membai’at beliau.

Meskipun mayoritas umat Islam telah menyatakan baiat kepada Ali, Namun dalam beberapa literatur disebutkan ada beberapa orang menarik diri dan tidak ikut berbai’at. Kondisi tersebut memunculkan sikap yang tidak utuh terhadap dukungan pemerintahan yang telah dibangun selama ini. Situasinya semakin pelik ketika Muawiyah bin Abu Sofyan selaku Gubernur Syam/Siria melakukan perlawanan terhadap kepimpinan Ali di Madinah. Pro dan kontra terjadi dalam diri masyarakat Arab. Setidaknya terdapat tiga sikap dalam suasana dilematis tersebut yakni. Pertama mendukung kepemimpinan Ali, kedua menolak Ali sekaligus mendukung Muawiyah dan ketiga abstain alias golput dan hanya menyerahkannya kebenarannya kepada Allah SWT sembari tidak ikut terlibat di dalamnya tetapi lebih fokus pada peningkatan ibadah terutama melakukan uzlah dari kehidupan duniawi tersebut. Kelompok inilah yang kemudian disebut Murj’ah

Penutup
Proses pemilihan pemimpin di masa sahabat Rasul tersebut sebagai era original dalam model transisi kepemimpinan memperlihatkan bahwa banyak alternatif yang telah ditampilkan. Namun tetap dalam konteks demokrasi yaitu dengan mengedepankan aspek musyawarah sebagai pilar utama dalam mengambil keputusan. Hadirnya kelompok abstain atau golongan putih tersebut yang terjawantah dalam golongan Murjiah sesungguhnya merupakan pilihan pahit dalam konteks sejarah saat perkembangan demokrasi belum berada pada level seperti sekarang ini. Oleh karenanya saat ini golput pada dasarnya bukanlah sebuah pilihan bijak ketika kita ingin berbuat yang terbaik untuk agama, bangsa ke depan. (r)

Simak berita lainnya di Harian Umum Sinar Indonesia Baru (SIB). Atau akses melalui http://epaper.hariansib.co/ yang di up-date setiap hari pukul 13.00 WIB.

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru