Jakarta (SIB)- Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren menggelar Pameran Kartun Santri Nusantara sebagai ajang kreativitas pada santri di Galeri Nasional Jakarta. Launching pameran ini dibuka oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin dan dihadiri oleh sejumlah kurator kartun nasional. Acara yang akan berlangsung dari 24 – 30 November 2015 ini merupakan rangkaian kegiatan Dirjen Pendis sejak bulan september yang lalu.
Menag Lukman dalam sambutannya mengatakan, Kementerian Agama terus berupaya membina, mengapresiasi potensi dan kreasi para santri pondok pesantren agar terus dapat berkembang dan mendakwahkan Islam yang damai, toleran, dan penebar kasih sayang, salah satunya dengan melalui seni kartun.
“Ini memang salah satu cara kami, untuk bagaimana mengapresiasi yang memiliki potensi cukup baik dalam memvisualisasikan ide mereka dalam merespon persoalan sosial kemasyarakatan,†kata Menag.
Akan hal ini, Menag mengapresiasi semua pihak yang berpartisipasi atas penyelenggaraan pameran kartun ini, terutama kepada pengelola galeri nasional, dewan juri, dan semua peserta. “Para pendahulu menyebarkan kebaikan melalui kesenian,†kata Menag.
Menag yakin bahwa kemampuan dan bakat para santri terhadap seni khususnya seni kartun tidak kalah dari para profesional. Karenanya, Menag berharap para santri bisa menggunakan kartun sebagai medium untuk menebarkan esensi agama, yang pada hakikatnya memanusiakan manusia, menempatkan martabat manusia pada tempatnya.
Salah yang Menyebut pesantren sarang terorisMenteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut sebagai sebuah kesalahan jika mengkategorikan pondok pesantren sebagai sarang teroris karena di institusi pendidikan Islam ini justru mengajarkan tentang arti toleransi di tengah keberagaman.
"Saya pikir tidak. Pesantren itu selalu memiliki ciri utama keberagaman pesantren. Keberagaman itu mencirikan tiga hal di manapun pesantren itu ada," kata Menag Lukman di Jakarta, Selasa.
Tiga hal dari keberagaman dalam pesantren, kata Lukman, di antaranya pesantren itu selalu mengajarkan nilai-nilai Islam yang moderat. Kemudian pesantren tidak mengajarkan nilai-nilai ekstrim dan terakhir pesantren mengajarkan tentang cinta Tanah Air.
"Jadi kalau ada orang yang menyatakan lembaga pendidikannya pesantren itu mengajarkan nilai-nilai ekstrim, itu bukan pesantren. Itu sekedar
mengatasnamakan pesantren, jadi bukan pesantren yang salah, tapi mereka yang mengatasnamakan itulah yang salah," katanya.
Menurut Menag, pesantren tidak mengajar ekstrimitas tapi justru selalu tumbuh dengan rendah hati.
Sejatinya pesantren adalah lembaga yang mengajarkan nilai-nilai serta tidak mengklaim kebenaran itu hanya miliknya. Toleransi di dalam pondok pesantren dibangun secara luar biasa.
"Pesantren itu pasti cinta Tanah Air. Jadi kalau di tengah-tengah masyarakat ada orang yang mengatasnamakan pesantren, lalu mengajarkan hal-hal yang bertolak belakang dengan ajaran Islam itu hanya mengatasnamakan Islam saja," kata dia.
Lukman menegaskan bahwa, masyarakat sendiri bisa menilai sebuah lembaga pendidikan Islam itu disebut sebagai pesantren atau tidak dengan melihat sepak terjang institusi tersebut.
"Masyarakat sendiri yang akan menilai mana pesantren yang betul-betul pesantren dan mana yang hanya mengatasnamakan pesantren saja," katanya.
(Pinmas/Ant/d)