Tahun 2017 diproyeksikan menjadi tahun pemulihan ekonomi setelah pada tahun lalu Indonesia mengalami tekanan hebat akibat perlambatan ekonomi global.
Sebuah lembaga riset ekonomi pada 2016 lalu juga memprediksikan bahwa ekonomi nasional pada tahun ini berpotensi tumbuh higga 5,2 persen.
Pada kenyataannya, ekonomi dunia pada tahun ini pun telah memberikan sinyal positif yang terlihat dari peningkatan prediksi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara utama di dunia.
Hal itu seharusnya bisa menjadi momentum untuk pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang lebih tinggi di tahun ini.
Sayangnya hingga paruh pertama 2017 ekonomi Indonesia masih mengalami kelesuan, pertumbuhan konsumsi masyarakat juga melambat.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal dalam sebuah kesempatan di Jakarta menyampaikan, meski pemerintah gencar menggenjot investasi untuk pembangunan infrastruktur, namun antusiasme ini belum diimbangi oleh investasi swasta secara sepadan.
Meski pemerintah telah menempuh berbagai langkah agresif untuk menggenjot penerimaan, tetapi peningkatannya dinilai masih terlalu "marjinal" untuk menutupi belanja APBN yang ekspansif.
"Akibatnya, defisit anggaran pun semakin melebar dan beban utang yang sudah besar pun semakin bertambah," ujar Faisal.
Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan mengeluarkan stimulasi dan kebijakan yang tepat untuk mengatasi kelesuan ekonomi, di samping untuk mengejar target pertumbuhan 5,2 persen seperti yang ditetapkan dalam RAPBN-P 2017.
JAGA DAYA BELI
Berdasarkan pengamatan CORE, konsumsi swasta baik kelas menengah bawah maupun menengah atas masih mengalami perlambatan pada semester pertama tahun ini.
Perlambatan tersebut tercermin dari melemahnya penjualan beberapa produk seperti kendaraan bermotor dan barang-barang ritel.
Pertumbuhan penjualan ritel misalnya, turun dari rata-rata 13 persen pada semester pertama tahun 2016 menjadi hanya lima persen pada periode yang sama di tahun ini, merujuk pada data yang dikeluarkan Bank Indonesia.
Pada semester I tahun ini, rendahnya pertumbuhan konsumsi swasta terjadi akibat melemahnya pendapatan masyarakat, khususnya kelas menengah bawah.
Faisal menilai, salah satu penyebab penurunan pendapatan riil tersebut adalah kenaikan inflasi yang mencapai 2,4 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang hanya 1,1 persen.
Meski harga pangan tahun ini relatif terkendali, tetapi kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah atau "administered price" sejak awal tahun menjadi penyebab peningkatan inflasi tahun ini.
Salah satunya, kebijakan pemerintah mencabut subsidi sebagian pelanggan listrik golongan 900VA, tutur Faisal mencontohkan.
Di saat yang sama, kelompok menengah atas juga cenderung menahan belanja secara terbatas.
Ekspektasi yang lebih rendah tahun ini disinyalir menjadi pendorong kelas tersebut untuk lebih memilih menyimpan dana mereka dalam bentuk investasi.
"Buktinya, kalau kita melihat data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama 9 bulan terakhir sebenarnya meningkat," pungkas Faisal.
Pada bulan Mei 2017 pertumbuhan DPK perbankan mencapai 11,2 persen (yoy), lebih tinggi dari tahun lalu yang mencapai 6,5 persen.
Namun peningkatan DPK ini terjadi pada simpanan jangka panjang (deposito) dan giro, sebaliknya DPK dalam bentuk tabungan jangka pendek melambat. Artinya, mereka yang menyimpan uang bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat.
Pada kelas menengah atas, kenaikan tipis hanya terjadi pada konsumsi penjualan ritel seperti suku cadang dan aksesoris kendaraan, serta barang budaya dan rekreasi.
Pelemahan ini juga ditambah tingkat suku bunga kredit perbankan yang tidak mengalami penurunan secara signifikan dalam enam bulan terakhir, padahal beberapa konsumsi swasta mengandalkan biaya perbankan.
Penjualan apartemen misalnya, hanya tumbuh 11,4 persen pada kuartal satu, lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu yang mencapai 23,5 persen.
Melihat perkembangan ini, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun hanya akan berada di kisaran 5,1 persen, sedangkan inflasi diperkirakan berada pada level 4,0-4,5 persen.
Oleh sebab itu, ia berpendapat dalam kondisi sekarang semestinya pemerintah mendorong kebijakan yang dapat merangsang belanja swasta atau minimal tidak menerapkan kebijakan yang justru menghambat konsumsi mereka.
BENAHI TRANSMISI MONETER
Sementara itu, ekonom dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Akhmad Akbar Susamto menilai lesunya ekonomi dalam negeri juga terkait dengan kebijakan Bank Indonesia yang belum efektif mendorong transmisi moneter ke sektor riil.
Sejak awal 2016 sampai Juli 2017, BI telah menurunkan suku bunga kebijakan sebesar dan giro wajib minimum (GWM) dengan besaran yang sama yaitu 150 bps, ditambah mengubah acuan dari "BI Rate" menjadi "BI 7 Day Repo Rate" dengan harapan kebijakan moneter lembaga tersebut menjadi lebih efektif.
"Tapi sayangnya, kebijakan itu direspon secara asimetris oleh perbankan dan belum mampu menurunkan suku bunga pinjaman secara signifikan," tutur Akbar.
Pada Juli 2016 "spread" suku bunga kredit terhadap suku deposit berada pada posisi 4,76 persen, sementara pada akhir Mei 2017 meningkat sebesar 5,01 persen.
Kebijakan "BI 7 Day Repo Rate" justru dianggap memperlebar "spread" antara suku bunga kredit dan deposit.
Ia berpendapat salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya transmisi moneter adalah sistem insentif yang diciptakan oleh BI. Di tengah penurunan suku bunga, BI terus melakukan kontraksi moneter dengan menawarkan return yang tinggi kepada perbankan.
Dana perbankan yang diserap oleh BI pada Juni 2017 mencapai Rp384 triliun.
Menurut Akbar, kontraksi moneter yang dilakukan BI di tengah ekspansi yang dilakukan pemerintah melalui belanja modal dan investasi merupakan respon yang keliru.
Oleh sebab itu BI diminta mempertimbangkan kembali sistem insentif yang menyebabkan perbankan lebih memilih menempatkan dananya di instrumen moneter ketimbang menyalurkan kredit.
Perlu dikaji sejauh mana instrumen moneter menjadi pilihan investasi di pasar keuangan yang tidak hanya menjadi pesaing bagi penyaluran kredit perbankan, tetapi juga menjadi pesaing bagi surat-surat utang pemerintah.
Adalah tugas BI untuk menjamin efektivitas transmisi moneter dalam membantu stabilitas perekonomian nasional, katanya menegaskan.
(Ant/c)