Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025

Menjadikan Mekanisme Pengawasan sebagai Budaya Kerja di Instansi Pemerintah

* Oleh Dr Maju Siregar MM
- Selasa, 15 Agustus 2017 13:38 WIB
1.266 view
Menjadikan Mekanisme Pengawasan sebagai Budaya Kerja di Instansi Pemerintah
Mengapa mekanisme pengawasan belum menjadi budaya kerja di lingkungan pemerintahan? Sementara di perusahaan swasta (korporasi) pengawasan sudah menjadi budaya. Mungkin hal ini terkait karena swasta adalah organisasi dengan orientasi profit (laba). Sementara di lingkungan pemerintah (organisasi publik) orientasinya adalah pelayanan. Wajar memang jika di swasta dinamika organisasi lebih hidup. Artinya,  perusahaan swasta yang dominan menerapkan dan mengimplementasikan fungsi -fungsi manajemen dengan baik. Sementara fungsi-fungsi manajemen mulai dari perencanaan sampai pengawasan (controlling) adalah kata kunci yang dapat diterapkan di mana saja untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien. Kita bisa belajar dengan perusahaan swasta, target dan tujuan bisa tercapai apabila sumber daya organisasi digerakkan dengan baik melalui fungsi-fungsi manajemen. Terlebih lagi, fungsi pengawasan dalam lingkungan organisasi swasta adalah variabel yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan yang telah direncanakan lebih dulu. Untuk itu, ada kalanya pemerintah saatnya boleh memetik pelajaran (benang merah) bahwa betapa penting fungsi-fungsi manajemen yang dilaksanakan oleh perusahaan dalam rangka mengoptimalkan kinerja pengawasan bisa ditransformasikan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri.  

Untuk menjadikan mekanisme pengawasan sebagai budaya di lingkungan pemerintahan, dapat  mengadopsi nilai-nilai pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan merupakan pekerjaan rumah khususnya bagi pemerintah. Suka atau tidak suka, fungsi-fungsi manajemen mulai dari perencanaan sampai pengawasan hanya bisa diterapkan dengan cara profesional,  masih dominan di lingkungan perusahaan swasta. Mengapa demikian? Karena masa depan perusahaan swasta sangat tergantung sejauh mana fungsi manajemen yang mereka terapkan bisa berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan perusahaan itu sendiri. Sangat kontras dengan lingkungan pemerintahan yang tidak mungkin tumbang kecuali oleh hal-hal force major, misalnya kudeta. Artinya, daya tahan pemerintahan yang kuat inilah yang mengakibatkan fungsi-fungsi manajemen tidak bisa berjalan dengan maksimal. Pada akhirnya praktik ketidaktaatan terhadap aturan dan peraturan dalam menjalankan tugas dan fungsinya akan terjadi di lingkungan pemerintahan mulai dari tingkat Pemerintahan Daerah sampai ke Pemerintah Pusat karena pengawasan yang profesional belum menjadi budaya kerja.  

Sekali lagi, apakah mekanisme pengawasan secara internal yang dilakukan oleh pemerintah telah terbangun dengan mengacu pada budaya pengawasan yang substantif? Atau, apakah pengawasan yang dilakukan selama ini oleh pemerintah hanya bersifat teknis prosedural belaka dan hanya untuk memenuhi kebutuhan administrasi saja seolah - olah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah itu sudah benar? Rentetan pertanyaan ini perlu di jawab agar budaya pengawasan yang terbangun merupakan budaya pengawasan yang substantif yaitu fungsi pengawasan itu benar-benar berjalan dengan baik, supaya tujuan pembangunan di negara ini dapat tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Mekanisme pengawasan  yang telah dilakukan aparat pengawasan belumlah berjalan dengan optimal dan maksimal. Diduga banyak faktor yang menyebabkan mengapa terjadi demikian. Artinya, mekanisme pengawasan belum menjadi budaya yang baik dan benar sesuai  indikator yang profesional. Tetapi sebelum kita sampai kesana, ada kalanya kita memahamai teori pengawasan yang baik dan benar yaitu mekanisme pengawasan merupakan wujud dari transformasi fungsi manajemen yang diterapkan oleh perusahaan swasta. Sebagaimana kita ketahui, perusahaan swasta (korporasi bisnis) keberhasilannya selalu dilihat sejauh mana mereka bisa mencapai target dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, PT. Astra Internasional Cabang Sumatera Utara punya program kerja bahwa tahun 2017 ini harus bisa menjual 10.000 unit mobil.

Untuk mencapai target tersebut tentu semua perangkat harus bekerja. Program kerja dalam bentuk rencana strategis tentu dimulai dari komitmen yang baik. Dengan demikian, untuk mendorong proses yang baik, semua sumber daya manusia  harus memahami apa yang jadi fungsi dari unit kerja yang dibawahi. Sebagai contoh, perencana melakukan planning dengan baik dengan melihat kondisi lapangan. Kemudian planning ini harus dieksekusi dengan baik. Apakah eksekutor melakukan tugasnya dengan baik, maka pengawasan harus dioptimalkan dengan baik pula. Mekanisme kerja yang berjalan dengan baik adalah indikator keberhasilan dalam mencapai apa yang jadi tujuan.     

Kendala Membangun Budaya Pengawasan
Selama ini budaya pengawasan belum berjalan dengan baik di lingkungan pemrintahan karena banyak faktor. Setidaknya ada beberapa faktor yang mungkin jadi penyebab mengapa budaya pengawasan yang baik tidak berjalan di lingkungan pemerintahan. Pertama, penegakan hukum yang sangat lemah. Selama ini apa yang jadi laporan dalam bentuk temuan di lapangan belum mendapat tindak lanjut dengan baik. Akibatnya di kalangan internal pemerintahan muncul semacam anggapan bahwa pengawasan itu hanya rutinitas saja. Artinya, apa yang dilakukan oleh pengawas internal pemerintah seperti inspektorat misalnya hanyalah untuk memenuhi prosedural belaka. Tentu anggapan seperti ini adalah sesat dan keliru. Hal seperti ini perlu dihindari dari pola pikir aparat pemerintahan.
 
Kedua, kurangnya apresiasi pimpinan/kepala daerah selaku Pembina Aparat Pengawasan terhadap mekanisme pengawasan. Artinya, political will para pimpinan selaku Pembina Aparat Pengawas  terhadap mekanisme pengawasan masih sangat lemah. Mungkin ada anggapan yang keliru, bahwa pengangkatan pimpinan unit kerja  adalah orang yang telah berkompeten dan profesional, maka tidak perlu diawasi. Pola pikir seperti ini sangatlah tidak tepat karena pimpinan/kepala daerah haruslah mengetahui apakah rencana dan program yang telah ditetapkan sudah terlaksana dengan baik dan benar serta telah sesuai dengan tujuan dan sasaran. Maka untuk itu mekanisme pengawasan haruslah dilaksanakan,

Ketiga, adanya budaya adat ketimuran, yakni faktor persaudaraan dan persahabatan yang saling menghargai  di kalangan masyarakat terlibih di internal ASN. Sebagai contoh, sangat sulit kita mengatakan salah/kurang kepada teman. Sementara  pertemanan dan persahabatan dengan profesionalisme kerja di pemerintahan sulit kita bedakan. Akibatnya, mekanisme pengawasan itu kurang  berjalan  sesuai yang diharapkan.

Apa yang Harus Dilakukan?
Apa yang harus dilakukan dalam membangun budaya pengawasan yang profesional layaknya seperti di lingkungan korporasi atau perusahan swasta agar apa yang jadi target, sasaran tujuan pembangunan itu bisa berjalan dengan baik?

Untuk itu, kita harus memahami apa itu konsep hakiki dari pengawasan dan manfaat pengawasan itu sendiri. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Lembaga Administrasi Negara (1996), bahwa pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. Pengawasan memiliki hubungan yang sangat erat dan dekat dengan perencanaan, seperti yang dikemukakan Terry dalam Manulang (2012) mendifinisikan, pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasnya, dan mengambil tindakan-tindakan korektif, bila diperlukan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana. Newman dalam Manulang (2012) mendifinisikan Pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan sesuai dengan rencana.

Sedangkan Fayol dalam Manulang (2012) mendifinisikan Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dengan instruksi yang telah diberikan dan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan. Ia bertujuan untuk menunjukkan (menemukan) kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah terulangnya kembali.

Dari definisi pengawasan yang dikemukakan beberapa ahli di atas diperoleh pemahaman, bahwa perencanaan dan pengawasan bagaikan dua sisi mata uang yang sama, di mana fungsi pengawasan tidak mungkin berjalan sendiri tanpa fungsi perencanaan. Demikian pula sebaliknya fungsi perencanaan yang baik adalah perencanaan yang didukung oleh pelaksanaan fungsi pengawasan yang baik.

Masalahnya, mengapa sistem pengawasan yang dilakukan, secara khusus misalnya dalam konteks pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota belum bisa berjalan dengan efektif? Apa yang salah dengan metode pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kita sehingga akar masalah bangsa ini, seperti persoalan korupsi masih sangat tinggi? Coba kita lihat, Skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia berada pada urutan 90 dari 176 negara yang diukur di tahun 2016. Ini merupakan bukti bahwa korupsi masih jadi masalah laten di negara kita. Butuh upaya dan energi besar untuk melakukan pemberantasan korupsi, dalam hal inilah fungsi pengawasan sangat penting untuk diterapkan dengan baik dan benar. 

Untuk mencegah segala bentuk penyimpangan kekuasaan dan penggunaan anggaran pemerintahan, dan dalam upaya mendorong tata kelola pemerintahan yang efektif, saatnya pemerintah melakukan pengawasan yang efektif. Pengawasan yang efektif sebagaimana yang dikatakan oleh Schermerhorn (2000) haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut (1) Berorientasi pada hal-hal yang strategis, (2) Berbasis informasi, (3) Tidak kompleks, (4) Cepat, (5) Dapat dimengerti, (6) Luwes, (7) Konsisten dengan struktur organisasi, (8) Dirancang untuk mengakomodasi pengawasan diri, (9) Positif mengarah ke perkembangan, perubahan dan perbaikan, (10) Jujur dan objektif.

Selanjutnya sebagaimana yang dikutip oleh Elieser Yohannes dalam Sarwoto (2010), persyaratan untuk suatu pengawasan yang dapat dikatakan efektif, yaitu (1) Ada unsur keakuratan, dimana data harus dapat dijadikan pedoman dan valid, (2) Tepat-waktu,yaitu dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasikan secara cepat dan tepat dimana kegiatan perbaikan perlu dilaksanakan, (3) Objektif dan menyeluruh, dalam arti mudah dipahami, (4) Terpusat, dengan memutuskan pada bidang-bidang penyimpangan yang paling sering terjadi, (5) Realistis secara ekonomis, dimana biaya sistem pengawasan harus lebih rendah atau sama dengan kegunaan yang didapat, (6) Realistis secara organisasional, yaitu cocok dengan kenyataan yang ada di organisasi, (7) Terkoordinasi dengan aliran kerja, karena dapat menimbulkan sukses atau gagal operasi serta harus sampai pada karyawan yang memerlukannya, (8) Fleksibel, harus dapat menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi, sehingga tidak harus buat sistem baru bila terjadi perubahan kondisi, (9) Sebagai petunjuk dan operasional, dimana harus dapat menunjukkan  deviasi standar sehingga dapat menentukan koreksi yang akan diambil dan (10) Diterima para anggota organisasi, maupun mengarahkan pelaksanaan kerja anggota organisasi dengan mendorong peranan otonomi, tangung jawab dan prestasi (Elieser Yohannes, dkk: e-Jurnal Administratif Reform: 67-78, FISIP UNMUL: 2016).

Budaya pengawasan bisa berjalan dengan baik dan menjadi budaya di lingkungan pemerintahan apabila dilakukan terobosan dalam berbagai hal. Pertama, penegakan hukum bisa dilakukan dengan baik. Artinya, setiap bentuk penyimpangan atau temuan yang ditemukan oleh APIP haruslah ditindaklanjuti dengan baik oleh pimpinan.  Dengan demikian, ada kepastian hukum dalam bekerja dan semua  obyek pengawasan oleh APIP dapat bekerja sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Kedua, saatnya diciptakan iklim kerja yang  profesional dan efektif. Bagaimana caranya tentu menjadi pertanyaan khusus. Dalam hal ini, perlu dilakukan penyuluhan, dialog, pendidikan khusus mengenai budaya kerja yang profesional. Artinya, budaya ketimuran yang sangat sulit membedakan mana (kapan) kawan dan mana kerja harus dihilangkan. Dengan terbangunnya kultur kerja yang membedakan mana kawan dan mana kerja akan terbangunlah mekanisme pengawasan dengan baik.

Ketiga, memberikan apresiasi khusus bagi PNS yang punya kinerja baik. Dengan demikian akan ada motivasi untuk berbuat baik. Sebagai contoh, pengangkatan pejabat saatnya memperhatikan aspek "merit system". Dengan demikian, iklim kerja yang mendukung prestasi dengan sendirinya akan terbangun. Maka keinginan untuk berbuat curang bisa diminimalisasi.

Saatnya mekanisme pengawasan bisa diciptakan sebagai budaya kerja di lingkungan pemerintahan. Mekanisme pengawasan yang dilakukan dengan mengedepankan budaya kerja akan jadi jaminan bahwa apa yang jadi target dan sasaran pembangunan bisa berjalan dengan baik. Maka tidak salah kalau Pemerintah bisa belajar kepada lingkungan korporasi (bisnis) dalam hal membangun budaya pengawasan. Budaya pengawasan yang substantif bisa terbangun jika semua punya visi dan misi yang sama, pemahaman yang sama bahwa pengawasan adalah salah satu variabel yang sangat penting dalam mencapai tujuan dan sasaran pembangunan di era otonomi daerah sekarang ini. (Penulis adalah Auditor Madya di Inspektorat Daerah Provinsi Sumut/h)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru