Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025

“Tongkat Kayu” Tak Lagi Jadi Tanaman

* Oleh Afut Syafril
- Selasa, 26 September 2017 16:56 WIB
1.070 view
"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman," sepenggal syair tersebut terdapat dalam lagu berjudul "Kolam Susu" karya Koes Plus. Band yang telah menelurkan sebanyak 953 lagu tersebut lagunya masih sering diputar di radio, sejak terbentuk tahun 1960.

Lagu "Kolam Susu" menggambarkan betapa kayanya alam Nusantara dengan trik hiperbola pada liriknya. Dengan penggambaran majas hiperbola tersebut tongkat kayu dan batu di Indonesia pun mampu menjadi tanaman.

Karya yang sungguh abadi, namun sayang tidak se-abadi makna sebenarnya yang disampaikan dalam lirik. Nusantara tidak lagi sesubur ketika "Koes Plus" melahirkan karya "Bunga Di Tepi Jalan" tahun 1972.

Saat ini kemarau menjadi ancaman serius di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Salah satu daerah yang mengalami kekeringan cukup parah adalah di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Untuk mendapatkan air bersih warga harus membayar Rp220.000 sampai Rp270.000 per tangki. Satu tangki muat untuk 5.000 liter yang harus dibagi secara merata kepada seluruh warga desa.

Tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari per keluarga seperti memasak, minum, mandi ataupun sekadar bersih-bersih.

Mochtar Sukiman salah satu tokoh masyarakat Desa Sidorejo mengatakan, warga lebih mengutamakan air bersih tersebut untuk kebutuhan ternak sapi.

Setiap keluarga rata-rata beternak sapi sebagai mata pencaharian mereka. Ternak pun mulai kurus dan beberapa sudah terserang penyakit, sebab mereka tidak dipasok tumbuhan segar yang mengandung serat dan air. Minum pun sapi kadang seadanya hanya dengan air kotor, sehingga mudah terserang penyakit.

Kiman sapaan akrab dari Mochtar Sukiman menceritakan, kondisi bak-bak tandon air hujan milik warga desa di kaki Gunung Merapi itu mayoritas sudah lagi tidak berisi air, hanya tersisa debu kering. Hal ini dikarenakan daerah Klaten bagian atas (Kemalang, Karangnongko dan Jatinom) dalam beberapa bulan terakhir tidak dapat pasokan air hujan.

Padahal Klaten beberapa waktu terakhir terkenal akan wisata swafoto bawah air yang jernih serta viralnya saluran air yang bening. Namun kondisi geografis membuat beberapa daerah Klaten lain nampaknya justru menjadi anti-tesis dari pemberitaan tersebut.

Dalam kondisi tersebut, penulis menghubungi salah satu kelompok relawan yang memberikan bantuan aksi sosial penggalangan dana di daerah tersebut. Relawan tersebut merupakan alumnus dari SMP Negeri 1 Delanggu, Klaten yang turun ke lapangan menggalang aksi sosial membantu warga Kemalang.

Koordinator dari aksi tersebut Eksan, menceritakan bahwa pemerintah memang sudah memberikan bantuan, salah satunya berupa truk tangki air bersih kepada warga Kemalang. Namun hal tersebut dirasa kurang tepat, sebab kondisi hanya akan berulang dari tahun ke tahun. Kemarau hingga tandon bak air mengering bukan hanya terjadi pada tahun ini, tapi setiap tahun dan 10 tahun terakhir semakin memburuk.

"Pembuatan 'bak-bak' penampung air ber-volume besar guna menampung air ketika musim hujan datang saya rasa itu adalah hal yang lebih tepat," kata Eksan ketika dihubungi.

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa mayoritas "Pembuatan embung-embung air di Klaten bagian atas yang berkualitas dan modern seharusnya bisa diterapkan di kawasan ini, bukan hanya sekadar pengerukan air tanpa adanya pemetaan yang tepat," katanya.

MENANAM TANAMAN TAHUNAN
Salah satu dari relawan SMP N 1 Delanggu merupakan Master Sains Botani dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Apriliana Dyah. Ia mengatakan bahwa sebaiknya warga Kemalang harus menanam tanaman tahunan yang tahan kering seperti mahoni atau kayu jenis lainnya. Selain dapat menampung air akarnya juga bisa dimanfaatkan sebagai peneduh.

Di daerah tersebut, mayoritas warganya berkebun dan jenis tanamannya palawija itu sudah tanaman yang tepat, sayangnya waktu penanamannya banyak yang tidak tepat.

Menurut Dyah seharusnya ditanam ketika terdapat banyak air, sehingga ketika musim kemarau bisa panen.

Jagung juga bisa menjadi salah satu jalan keluar, sebab tanaman berbiji tersebut merupakan jenis yang tahan kering, tapi tetap saja membutuhkan pasokan air pada awalnya.

Untuk pakan ternak seperti sapi, wanita berkelahiran bulan April ini menjelaskan tidaklah masalah jika memberi makan ternak jerami kering atau tumbuhan ilalang. Asalkan kadar air dari minumannnya juga tetap tercukupi.

"Masalah lain di sini adalah jenis tanahnya pasir, sehingga tidak banyak jenis tumbuhan yang bisa ditanam sebagai pengganti ketika kemarau," katanya.
Masyarakat setempat di tanah berlereng banyak menanam kopi, menurutnya hal tersebut sudah tepat, sebab kelembapan suhunya memang sudah sesuai. Hasil kopi juga bisa dijual sebagai pendapatan ketika musim kering.

Ia menilai hasil serta kualitas kopi yang dihasilkan cukup baik, karena tanamannya tidak ada yang terserang bakteri maupun virus, hanya layu secara alami.

2.726 Desa Kekeringan
Berdasarkan data sementara yang dihimpun Pusat Pengendali Operasi (pusdalops) BNPB terdapat sekitar 105 kabupaten/kota, 715 kecamatan dan 2.726 kelurahan/desa yang mengalami kekeringan saat ini di Jawa dan Nusa Tenggara.

Sekitar 3,9 juta jiwa masyarakat terdampak kekeringan sehinga memerlukan bantuan air bersih. Kekeringan juga melanda 56.334 hektare lahan pertanian sehingga 18.516 hektare lahan pertanian gagal panen.

Berdasarkan sebaran wilayahnya, kekeringan di Jawa Tengah melanda 1.254 desa yang tersebar di 275 kecamatan dan 30 kabupaten/kota sehingga memberikan dampak kekeringan terdapat 1,41 juta jiwa atau 404.212 KK. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan hingga Oktober 2017. Di Jawa Barat kekeringan melanda 496 desa di 176 kecamatan dan 27 kabupaten atau kota sehingga berdampak kepada 936.328 jiwa penduduk.

Delapan kepala daerah kabupaten atau kota telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan yaitu Kabupaten Ciamis, Cianjur, Indramayu, Karawang, Kuningan, Sukabumi, Kota Banjar dan Kota Tasikmalaya. Begitu pula halnya dengan di Jawa Timur, kekeringan melanda 588 desa di 171 kecamatan dan 23 kabupaten/kota.

Di Nusa Tenggara Barat kekeringan melanda 318 desa di 71 kecamatan yang tersebar di 9 kabupaten meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, Bima dan Kota Bima. Sebanyak 640.048 jiwa atau 127.940 KK masyarakat terdampak kekeringan.

Sedangkan di sembilan kabupaten di Provinsi Kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan mengalami darurat kekeringan. Hal itu menyusul sumber-sumber mata air mulai mengering. Sembilan kabupaten yang melaporkan darurat kekeringan itu adalah Flores Timur, Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua.

Di Provinsi DI Yogyakarta, kekeringan melanda di 10 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Di 10 kecamatan tersebut ada 32 desa yang terdampak kekeringan ada 12.721 jiwa di dalam 7.621 KK yang terdampak kekeringan di musim kemarau ini.

Penyaluran air bersih terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan kekeringan dan dampaknya di Provinsi Banten dan Bali masih dilakukan pendataan. Sebagian besar daerah-daerah yang terlanda kekeringan adalah kawasan yang pada tahun-tahun sebelumnya juga mengalami kekeringan. Masih tingginya kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai menyebabkan sumber air mengering.

Kepala Pusat data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan upaya yang dilakukan untuk jangka pendek adalah bantuan dropping air bersih melalui tangki air. BPBD Bersama SKPD, relawan dan dunia usaha telah menyalurkan jutaan liter air bersih kepada masyarakat. Beberapa daerah dijadwal untuk pengiriman bantuan air bersih karena keterbatasan mobil tangki air.

Air bersih ini untuk memenuhi kebutuhan minum dan memasak. Sedangkan untuk mandi dan cuci warga harus memanfaatkan sumber-sumber mata air dari sungai atau embung-embung. BNPB memberikan bantuan dana siap pakai kepada BPBD yang telah menetapkan status darurat untuk menangani kekeringan. Upaya mengatasi kekeringan sudah dilakukan setiap tahun, namun upaya ini belum dapat menuntaskan semuanya. Pembangunan sumur bor, pembangunan perpipaan, pemanenan hujan, pembangunan embung, bendung dan waduk dapat mengurangi dampak kekeringan. Upaya ini masih terus dilakukan ke depan.

Diperkirakan kekeringan masih akan berlangsung hingga akhir Oktober 2017 mendatang. BMKG telah merilis bahwa sebagian besar pulau Jawa saat ini sedang mengalami puncak musim kemarau, dan akan masuk awal musim hujan pada Oktober-November 2017.

Awal Musim Hujan 2017-2018 di sebagian besar daerah diprakirakan mulai akhir Oktober - November 2017 sebanyak 260 zona musim (76 persen) dan mengalami puncak musim hujan pada Desember 2017 sampai Februari 2018. (Ant/h)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru