Dua peristiwa yang terjadi di kampus Universitas Negeri pada beberapa waktu lalu sungguh sangat memilukan para pendidik, masyarakat dan pemerintah sebagai regulator. UNIMA, terkait dugaan ijazah "tembak" untuk program Strata-S3, dimana terindikasi disertasi dibuatkan oleh orang lain, kemudian proses capaian akademik tidak bisa diukur, anehnya kasus ini menimpa rektor pimpinan puncak perguruan tinggi. Praktek ini disebut "deceitful practice" praktek penipuan ijazah. Universitas Negeri Jakarta tidak kepalang tanggung, rektornya diberhentikan sementara. Menurut Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) terindikasi jual-beli ijazah pascasarjana, dengan proses perkuliahan yang tidak terukur. Kuliah berlangsung dua hari dalam sepekan, meluluskan doktor hanya dengan kurun waktu tiga tahun. Dimana tanggungjawab moral Kampus sebagai pusat keilmuan? Pada hal Peraturan Menristek dan Dikti No. 44/2015 tentang standard Nasional program S-3, minimal harus menempuh 42 satuan kredit semester dan punya sistem penjamin mutu yang berkesinambungan.
Kalau saja perguruan tinggi Negeri kurang sigap pengawasannya dari pemerintah, bagaimanakah Sumber Daya Kampus bisa dijamin mutu dan proses pembelajarannya? Data perguruan tinggi berdasarkan pangkalan data pendidikan tinggi di forlab.ristek-dikti.go.id. tercatat 4.551 unit, terdiri dari 397 Peguruan Tinggi Negeri tersebar di bawah kendali: 1). Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 122 unit; b). Kementerian Agama 95 unit; c). Kementerian lainnya 180 unit dan d). Perguruan Tinggi Swasta 4.154 unit. Dimana wibawa dan pengawasan pemerintah? Akibat kelengahan pengawasan dari pemerintah, tidak heran beberapa kampus diduga; diwarnai plagiasi, pemalsuan gelar, dan komersialisasi perkuliahan. Dimana posisi kampus sebagai lembaga yang berperan strategi mencerdaskan kehidupan bangsa? Cerdas bukan hanya sekedar intelektual, tetapi norma dan etika harus dijunjung tinggi melalui sikap dan perilaku.
Kekhawatiran, adalah jangan sampai kuantitas perguruan tinggi bertambah, tetapi penegakan hukum tidak optimal. Sesungguhnya dosen perlu paham akan tugas dan tanggungjawabnya kepada kampus, introspeksi diri akan menjadi salah satu poin penting sebagai renungan terhadap profesi dan pelayan akademik di tengah-tengah kampus.
Idealisme Profesi Dosen
Filosofi Yunani kuno oleh Aristoteles mengatakan bahwa kampus merupakan institusi pendidikan dan fasilitator untuk mencapai pengetahuan yang tertinggi disebut "Virtue", dimana ilmu pengetahuan kampus bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai pelayan, dosen sudah seharusnya mempunyai "idealisme" yang kokoh, tegak dan luwes, karena merupakan personal sebagai agen perubahan. Dosen yang sudah memilih profesi pendidik sesungguhnya harus bisa terjamin kesetiaannya. Dia harus mempunyai "roh" pelayanan dalam hal: transparansi, akuntabilitas, responsibility, fairness dan independensi dalam keputusan. Kampus merupakan lembaga ilmiah, berfungsi sebagai pusat budaya, pilar bangsa dan penggerak pembaharuan. Kampus merupakan wadah pembelajaran bagi calon pemimpin bangsa, pembelajaran mahasiswa dan masyarakat, pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, wadah pembelajaran kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari kebenaran. Kampus seharusnya mengutamakan prinsip akademik bukan birokrasi, politik, ataupun aliran sektarian yang memperkerdil pola pikir dosen dan mahasiswa. Kampus seyogyanya berkembang mencari penemuan-penemuan baru untuk memperbaiki kehidupan berbangsa, sebagaimana tercantum dalam bait lagu Indonesia Raya; yaitu:" bangunlah jiwanya", "bangunlah badannya". Pendidikan (jiwanya) merupakan salah satu jembatan emas untuk mencapai keberhasilan, kemudian sektor-sektor ekonomi dan pembangunan bisa terpenuhi, karena pengetahuannya sudah cukup dan siap di implementasikan untuk bangsa dan negara.
Panggilan Dosen sebagai Pelayan
Bagi Dosen kampus, apakah mereka menerima pelayanan akademik dengan "hati" (calling)? Artinya; hidup matinya bergelut di kampus dengan ilmu pengetahuan. Dosen sebagai pelayan sudah dipercayakan oleh Pemerintah, Yayasan, Masyarakat mengelola sumberdaya, mengelola asset, mengatur organisasi, mengelola keuangan. Idealisme profesi dosen akan mengalir, ketika pelayanan diterima dengan "hati" (calling). Sebagai komponen kampus, civitas academica perguruant tingi memiliki peran dalam menunjang keberhasilan kampus dimana dia bernaung. Salah satu keberhasilan itu bisa dilihat dari status akreditasi. Tugas dosen sebagai ilmuan wajib melakukan transformasi, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Tugas utama dosen tersebut di aplikasikan melalui Tridharma Perguruan tinggi, yakni, pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Keaktifan dosen, mahasiswa dan civitas akademik akan membuktikan nilai akreditasi kampus. Bila panggilan berdasarkan "hati" maka karya ilmiah tidak akan diperlakukan seperti joki yang menawarkan jasa skripsi, tesis dikerjakan orang lain. Mentalitas instan, ingin mendapat gelar akademik tanpa menempuh proses dan tidak menegakkan integritas akademik.
Pengawasan Akademik
Pemerintah sebagai regulator wajib mengawasi administratif dan proses pembelajaran. Kalau saja Perguruan Tinggi Negeri melakukan maladministrasi, tidak tertutup kemungkinan Perguruan Tinggi Negeri lainnya melakukan malpraktek di dalam doktrinasi kebangsaan yang berbeda dengan acuan negara, padahal dana ditopang oleh pemerintah. Bagaimana dengan Perguruan Tinggi Swasta? Tidak tertutup kemungkinan PTS bisa melakukan hal yang sama di dalam berbagai modus. Karena kepemilikannya dikelola oleh Yayasan. Motif pendirian bisa karena berbagai unsur kebutuhan, dan belum tentu karena meningkatkan intelektualisasi bangsa. Karena di dalam berbagai hal terlihat, bahwa Yayasan pendiri sering berseberangan dengan rektorat pelaksana operasional. Swasta cenderung mengabaikan aturan pemerintah dan lebih patuh terhadap Yayasan, akibatnya mutu pelayanan dosen sebagai fasilitator tidak maksimal. Perhatian Yayasan tidak sepenuhnya berada di dalam koridor pendidikan. Tidak heran Dosen berpeluang melakukan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hirarkisnya, karena sasaran Tridharma perguruan tinggi menjadi semu, pada akhirnya mahasiswalah yang sangat dirugikan. Sebagai regulator perlu ketegasan sikap, ganjaran pelanggaran harus memberikan efek jera kepada Dosen atau perguruan tinggi lainnya. Sehingga kampus sebagai agen dan pionir perubahan tidak tercela karena praktik yang tidak sehat. Pemerintah harus lebih rinci mengawasi di dalam berbagai bidang termasuk Rektor dan jajarannya, Dekan dan pembantu dekan, demikian Kaprodi, khususnya di berbagai lembaga perguruan tinggi Swasta. Karena berbagai keterbatasan SDM yang dimiliki, maka sering terjadi miss place yang dilakukan oleh Yayasan. Dengan pengawasan yang intens diharapkan praktek ini akan semakin berkurang. Dan harapan kita, kampus akan semakin bersinar di dalam karya kebajikannya.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Pelita Harapan/h)