Fenomena korupsi yang terungkap belakangan ini sudah menjadi perilaku kecintaan pada materi, bukan lagi hanya menjadi semacam perilaku biasa, tapi pelakunya telah menjadi maniak korupsi. Kondisi itu terjadi di tengah situasi demokrasi kita yang semakin tidak terkendali sehingga sering disebut-sebut sebagai democrazy (demokrasi tidak lagi normal). Situasi inilah yang saya sebut sebahai matero-maniac-democrazy.
Bagaimana tidak? Pelaku-pelaku korupsi bukan lagi orang kecil yang tak punya uang. Garong-garong uang negara itu adalah mereka yang merupakan pejabat, yang harta kekayaannya sesungguhnya lebih dari cukup. Mereka mengambil paksa uang negara, demi memperkaya diri sendiri yang telah kaya; keluarga yang telah sejahtera; dan kelompoknya yang juga telah punya cukup uang.
Jika perilaku korupsi hanya dilakukan sekali dua kali, maka itu mungkin hanya karena "kepeleset" atau "terpaksa". Tetapi sebagian besar perilaku korupsi yang terjadi belakangan ini adalah korupsi yang telah disusun grand-design-nya oleh orang-orang itu juga. Contoh, adalah korupsi dalam kasus e-KTP. Anggaran yang hendak digarong telah didisain, pemenang tender telah disusun, policy dan programnya disiapkan, serta aplikasi di lapangan telah disusun begitu rapi dan mulus. Pelakunya? Ya itu-itu juga. Mereka yang selama ini diduga disebut namanya dalam berbagai kasus korupsi lainnya.
Upaya penggarongan uang negara dengan pola yang sama juga terlihat dalam kasus-kasus yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat, M Nazaruddin. Bagaimana uang tersebut mengalir telah dikonsepkan dengan baik sebelumnya. Dan itu hanya dikendalikan oleh beberapa pihak saja, utamanya M Nazaruddin, yang setidaknya terlibat di dalam lebih dari dua kasus korupsi.
Di level pejabat daerah, kasus korupsi ala maniak ini amat kentara. Kasus OTT yang menimpa para kepala daerah yang ditangani oleh KPK, beberapa diantaranya adalah kasus suap yang kejadiannya sesungguhnya telah berulang-ulang. Ada Kepala Daerah yang meminta suap atas jabatan. Suap itu berlangsung terus menerus disepanjang karirnya. Belum lagi suap atas proyek yang berulang-ulang terus didapatkan setiap kali APBD digunakan. Padahal, berulangnya kasus suap di waktu yang berbeda justru adalah sarana yang memudahkan KPK melacak dan mendeteksi mereka.
Maniak pada uang (materi) inilah yang kita lihat sekarang ini semakin masif. Tak ada lagi malu, tak ada lagi keengganan menahan diri. Jangan bicara moralitas, karena bagi maniak, moralitas adalah urusan mereka yang bodoh. Karena yang namanya maniak, kepuasan diri adalah tuhan yang sesungguhnya. Mereka begitu menyukai perilaku yang dilakukannya. Mereka menjadikan kesukaannya, yaitu uang, sebagai kesenangan. Sekali mendapatkannya maka mereka akan merasa bahwa mereka berhasil melakukan sesuatu yang membanggakan. Demikian seterusnya sehingga perilaku korupsi tak ada terminal terakhirnya. Sekali berhasil, senang, lalu lakukan lagi, lalu senang, lalu lakukan lagi. Maniak korupsi adalah fakta yang paling mengerikan atas kondisi perilaku korupsi di negeri ini.
Parahnya lagi, perilaku maniak tersebut terjadi dalam konteks demokrasi kita yang semakin tidak normal. Mengapa saya sebut tidak normal?
Pertama, demokrasi kita tak lagi punya rambu-rambu hukum yang baik. Seluruh perangkat hukum dihancurkan oleh kepentingan politik. Perangkat hukum yang ada, begitu mudahnya diterabas jika kepentingan politik menginginkannya. Kerangka pengendalian kasus korupsi bukan belum dibuat. Bahkan telah sangat sempurna. Namun sebagaimana kita lihat, pembebasan pelaku korupsi, perlawanan koruptor dan keterlibatan anggota parlemen di dalam mengangkangi hukum adalah contoh nyata betapa hukum tak lagi bisa mencegah perilaku para maniak korupsi. Jadi untuk apakah demokrasi jika hukum, elemen penting dalam demokrasi, bisa diabaikan begitu saja?
Kedua, demokrasi kita telah dikendalikan oleh segelintir pihak. Di level pusat, oligarkhi parpol telah menjadikan korupsi tumbuh subur. Mereka mengatur dan mempermainkan ketentuan yang membuka peluang korupsi. Mereka yang menjadi patron dan payung korupsi. Dalam kasus-kasus korupsi masif yang terjadi di negeri ini, dimana para koruptor berlindung? Di dalam parpol-nya. Penggarongan uang negara dilakukan oleh para kader parpol yang seharusnya mengisi demokrasi dengan nilai dan perilaku yang baik.
Ketiga, demokrasi kita memang telah menggila dengan sistem uang yang ada di dalamnya. Uang mahar Kepala Daerah, biaya kampanye, bahkan uang untuk membayar biaya kemenangan, adalah bukti jika demokrasi kita bukan lagi pesta demokrasi melainkan demokrasi uang. Hanya segelintir mereka yang menang dalam kompetisi demokrasi karena tanpa uang. Sebagian besar karena modalnya besar, uangnya mengalir ke mana-mana dan secara tidak langsung "membeli" kemenangan.
Pertemuan antara maniak korupsi dengan situasi demokrasi yang tak lagi tertib, menjadikan Indonesia menjadi ladang korupsi. Hampir setiap bulan kita menyaksikan kasus korupsi "naik" cetak. Uniknya lagi, setiap kali ketahuan, pelakunya bukannya kapok. Gestur tubuh mereka seperti tidak memperlihatkan penyesalan. Mereka malah senyum senyum di depan media. Beberapa diantaranya bahkan melambaikan tangan kepada awak media. Mereka tak lagi merasa bahwa di gelandang ke bui itu adalah perbuatan yang memalukan diri, keluarga dan martabat kelompoknya.
Dengan kondisi di atas, mengharapkan KPK terus menerus menggebuk para koruptor seperti menegakkan benang basah. Itu akan sia-sia. Demikian juga dengan rencana Kepolisian membentuk Densus Korupsi sama saja dengan pembentukan Densus 88 yang tak akan mungkin bisa menghalangi para maniak. Yang diperlukan lebih dari sekedar upaya penindakan.
Kita memerlukan perombakan mental kesukaan pada materi (uang) yang seharusnya jangan sampai terjadi. Proses ini terjadi berpuluh-puluh tahun melalui pendidikan, media massa dan tiadanya norma sosial yang mengikat. Ini yang harus dibenahi sekarang jika kita ingin menyelamatkan generasi mendatang. Kita harus berhenti memproduksi para maniak-maniak korupsi. Maka, kita harus bekerja keras mendorong supaya di lembaga pendidikan anak-anak kita hidup sederhana, tak menginginkan uang sebagai tujuana akhir. Kita harus mendorong media memiliki tanggung-jawab menyebarluaskan nilai kesederhanaan. Kita harus melakukan rekonstruksi sosial supaya menggarong uang adalah sebuah hal yang memalukan
(Penulis adalah peminat masalah sosial-politik/c)