Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Sabtu, 12 Juli 2025

Ketika Surplus dan Impor Beras Menjadi Polemik

* Oleh Hanni Sofia Soepardi
- Senin, 12 Februari 2018 18:22 WIB
1.475 view
Ketika Surplus dan Impor Beras Menjadi Polemik
Keputusan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengimpor 500.000 ton beras pada awal 2018 sempat mengejutkan publik.

Tak ayal pro dan kontra atas keputusan itu muncul hingga berbagai pihak pun tak juga berhenti berpolemik.

Mereka yang kontra cenderung melihat pada klaim selama dua tahun terakhir, yakni 2016-2017, di mana Indonesia berhasil bebas impor beras medium berkat program Upaya Khusus (Upsus).

Impor sendiri tercatat hanya dilakukan pada beras khusus untuk kesehatan maupun beras khusus untuk ekspatriat.

Sebaliknya Kementerian Pertanian dengan penuh percaya diri melaporkan Indonesia surplus beras.

Panen berlangsung setiap hari sejak Desember 2017 hingga Januari 2018 serta akan terus berlangsung hingga panen raya pada Februari-Maret 2018.

Publik pun bingung dengan paradoks tersebut ketika terjadi surplus beras, tetapi di sisi lain impor beras dilakukan.

Masyarakat juga dibuat semakin bertanya-tanya ketika dua menteri dalam satu kabinet tampak memiliki kebijakan yang bertentangan satu sama lain.

Sumber di Istana Kepresidenan bahkan menyatakan Presiden Jokowi langsung turun tangan agar persoalan dan polemik beras tidak berkepanjangan.

Presiden, sebut sumber tersebut, memanggil Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan ke Istana Kepresidenan Bogor.

Dalam pertemuan itu diputuskan keduanya harus satu suara ketika menyampaikan informasi dan kebijakan kepada masyarakat dan untuk persoalan beras saat ini maka Menteri Perdagangan yang diminta berbicara langsung kepada publik.

BEDA KESIMPULAN
Masyarakat memang dibuat bertanya-tanya terkait data acuan tentang beras di kedua kementerian tersebut, yakni Kemendag dan Kementan.

Banyak yang menduga-duga perbedaan data acuan terjadi lantaran minimnya koordinasi antara dua kementerian itu, termasuk juga terkait data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Urusan Logistik (Bulog).

Direktur Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) Jakarta Syahroni mengatakan, sebetulnya polemik data di Indonesia yang sudah berlangsung puluhan tahun dan telah disadari pemerintah sehingga diputuskan hanya data resmi BPS sebagai referensi kebijakan.

Data dari pihak terkait sekadar balancing dan 'cros check', kata praktisi pertanian itu.

Menurut dia, polemik beras sejatinya bukan semata persoalan perbedaan data.

Boleh jadi kedua kementerian tersebut membaca data sama, tetapi kesimpulan diambil berbeda. Tugas Kementerian Pertanian tentu hanya memastikan produksi pangan, cukup untuk memberi makan 261 juta penduduk Indonesia, sementara Kementerian Perdagangan memastikan distribusi lancar ke berbagai daerah hingga pelosok dengan harga terjangkau.

Pada kasus ini urgensinya adalah bagaimana membaca data surplus beras serta menjelaskan pada publik dengan bahasa sederhana tentang keputusan impor maupun tidak impor.

Selama ini surplus dipahami sebagai produksi beras nasional selama setahun dikurangi konsumsi beras nasional selama setahun.

Bila positif, maka surplus. Sebaliknya bila negatif, maka defisit. Publik lalu terlena sehingga dalam benaknya saat surplus tak boleh impor karena impor hanya boleh dilakukan saat defisit. Tapi benarkah sesederhana itu? Faktanya, menurut Syahrony, corak tata niaga beras tidak sederhana, tetapi memang harus dijelaskan pada publik dengan bahasa sederhana.

BEDA ISTILAH
Tata niaga beras memang harus melibatkan pemahaman istilah yang rumit, termasuk dalam hal keharusan untuk dibedakan istilah produksi total, produksi dapat diakses pasar (marketable), produksi tidak dapat diakses pasar (unmarketable) dan produksi cadangan (slow marketable).

Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Destika Cahyana mengatakan untuk mendapatkan produksi total beras maka dapat dihitung dari hasil panen pada satuan luas lahan tertentu.

Misalnya satu hektare lahan menghasilkan 5,5 ton gabah kering panen (GKP) setara 3,19 ton beras (konversi 58 persen).

Bila satu kecamatan terdapat 1.000 ha dengan rata-rata hasil 5,5 ton per ha GKP, maka produksi total sebesar 5,5 juta ton GKP yang setara 3,19 juta ton beras.

Namun, total panen tersebut tidak semua dapat diakses pasar sebab petani menyimpan hasil panen untuk konsumsi keluarga, benih dan ternak.

Riset Purnomo (1991) di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, mengungkap 17,5 persen hasil panen disimpan.

Di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Barat, petani menyimpan 5,20 persen.

Maka, dengan asumsi petani menyimpan 15 persen, maka dari produksi total di sebuah kecamatan 3,19 juta ton beras, sebanyak 478.000 ton tidak dapat diakses pasar (unmarketable) karena ada di rumah tangga petani sehingga hanya 2,7 juta ton saja yang dapat diakses pasar (marketable).

Berikutnya dari produksi yang dapat diakses pasar pemerintah mengalokasikan cadangan untuk 3-6 bulan ke depan. Data dari tahun 2000-2013 cadangan beras Bulog berkisar 4-9 persen dari produksi total.

Idealnya cadangan Bulog untuk stok 3 bulan sejumlah 30 persen dari produksi total untuk bantuan darurat seperti bencana alam, gagal panen, maupun operasi pasar kala harga beras naik tak terkendali.

Beras yang semula marketable, ketika dibeli Bulog sebagian menjadi unmarketable saat menjadi bantuan gratis dan sebagian lain menjadi slow marketable saat digelontorkan ke pasar untuk kendali harga.

Namun, bila Bulog belum mampu mencadangkan 30 persen, minimal stok 10 persen dari total produksi.

Dari hitungan itu maka sebetulnya hanya 75 persen beras dari produksi beras total yang "mobile" di pasaran.

"Mobile" bermakna mudah didistribusikan pedagang dari satu daerah ke daerah lain serta mempengaruhi harga tingkat konsumen.

Harga yang bergerak turun naik di pasar induk di setiap ibukota provinsi dan kabupaten sebetulnya mencerminkan volume dari 75 persen produksi total di wilayah tersebut.

Lalu perlukah Indonesia impor beras? Jawabannya bukan pada apakah produksi sudah surplus dibanding konsumsi.

Tetapi seberapa besar surplus tersebut dibanding konsumsi. Bila angka surplus masih di angka 5,15 persen, sebetulnya Indonesia masih butuh impor.

Sebaliknya bila surplus melebihi 25 persen dari angka konsumsi maka Indonesia benar-benar terbebas impor. Inilah yang disebut sebagai pencapaian kedaulatan pangan nasional. (Ant/h)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru