Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 08 September 2025

Ketika Lidah Menjadi Jerat: Mungkinkah Ucapan Menyingkirkan Anggota DPR?

Oleh: Joan Berlin Damanik SSi MM
Redaksi - Senin, 08 September 2025 12:19 WIB
53 view
Ketika Lidah Menjadi Jerat: Mungkinkah Ucapan Menyingkirkan Anggota DPR?
Foto SNN/dok
Joan Berlin Damanik SSi MM, Wakil Rektor IV Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli
Tapanuli (harianSIB.com)


Pepatah lama "mulutmu harimaumu" senantiasa relevan dalam panggung politik. Bayangkan sebuah skenario di mana lima anggota DPR RI, misalnya figur publik seperti Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari NasDem, Eko Patrio serta Uya Kuya dari PAN, dan Adies Kadir dari Golkar, terpaksa kehilangan posisi mereka di parlemen. Bukan karena kasus korupsi, melainkan karena pernyataan yang memicu kegaduhan dan dianggap melukai rasa keadilan masyarakat.

Fenomena hipotetis ini, jika terjadi, akan menjadi cermin betapa ucapan seorang politikus bukan lagi sekadar opini, tetapi bisa menjadi bumerang yang meruntuhkan karier dalam sekejap.

Baca Juga:

Sebagai representasi rakyat, anggota legislatif memikul beban moral dan etika publik. Setiap kalimat yang terucap bukan lagi suara pribadi, melainkan cerminan lembaga negara. Ucapan yang sembrono, merendahkan, atau menunjukkan ketidakpekaan sosial dapat secara otomatis memperlemah kepercayaan publik, yang merupakan dasar legitimasi politik. Pernyataan yang terkesan membela fasilitas mewah atau meremehkan kritik publik berpotensi menyulut kemarahan yang berujung pada tekanan besar terhadap individu dan partainya.

Jika partai politik sampai mengambil tindakan tegas seperti penonaktifan, hal itu akan mengirimkan dua pesan penting. Pertama, ini menunjukkan adanya mekanisme koreksi internal untuk menjaga citra lembaga dari keruntuhan wibawa, sekalipun istilah "nonaktif" tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang MD3. Kedua, hal tersebut menggarisbawahi bahwa suara rakyat kini memiliki kekuatan dominan untuk menuntut pertanggungjawaban. Gelombang kritik di media sosial hingga demonstrasi di jalanan telah mengubah ruang publik menjadi arena pengawasan yang efektif terhadap perilaku elite.

Baca Juga:

Konteks era digital memperkuat konsekuensi ini. Satu kalimat yang diucapkan tanpa kendali dapat menyebar secara viral dalam hitungan menit, dipelintir, dan menjadi amunisi kemarahan massal. Di era keterhubungan instan, komunikasi politik tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab etis. Retorika yang ceroboh kini sama berbahayanya dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Pelajaran yang dapat dipetik sangat jelas, yakni kebebasan berpendapat harus diimbangi dengan kesadaran penuh akan dampaknya. Jabatan legislatif lahir dari mandat rakyat, dan mandat itu bisa hilang seketika jika kepercayaan tersebut disalahgunakan. Para elite politik perlu menyadari bahwa menjaga lisan sama pentingnya dengan merumuskan kebijakan.

Skenario tersingkirnya anggota dewan karena ucapan mereka adalah sebuah alarm kolektif. Di hadapan publik yang semakin kritis dan terhubung secara digital, kursi kekuasaan tidak lagi mampu melindungi pemiliknya dari konsekuensi lidah yang tak terkendali. Pada akhirnya, pepatah lama itu bukan sekadar nasihat moral, melainkan sebuah realitas politik: lidah yang lebih tajam dari pedang dapat menyingkirkan pemiliknya dari panggung kekuasaan.((Wakil Rektor IV Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli)

Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru