Jakarta (SIB)
RUU Omnibus Law Cipta Kerja terus mendapat kritik dari sejumlah pihak. Kali ini, Wakil Ketua Komisi X DPR F-PKS, Abdul Fikri Faqih, mengecam pasal-pasal mengenai pendidikan dalam RUU tersebut.
Fikri menyoroti revisi Pasal 8 dan 45 UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Di dua pasal itu, ditambahkan masing-masing 1 ayat yang menyatakan dosen dan guru dari lulusan perguruan tinggi luar negeri yang terakreditasi tidak memerlukan sertifikat pendidik untuk mengajar di Indonesia.
Fikri menganggap hal tersebut diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri. Sebab guru dan dosen dalam negeri wajib memiliki sertifikat pendidik. Sementara guru asing yang mengajar di Indonesia tak wajib memiliki sertifikat pendidik jika lulus dari perguruan tinggi di luar negeri yang terakreditasi.
“Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah. Ini benar-benar RUU alien,†ujar Fikri dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (29/2).
“Kenapa harus diskriminatif terhadap pengajar lokal? apa jaminan bahwa pengajar asing itu lebih baik?†Fikri mempertanyakan.
Fikri pun mempertanyakan mengapa RUU Cipta Kerja juga menghapus prioritas bagi dosen lokal untuk mengajar di kampus asing yang beroperasi di Indonesia. Sebelumnya ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 65 ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:
Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.
Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja bunyi ayat tersebut diubah menjadi:
Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Pasal ini dihapus oleh Omnibus Law. Jadi nanti supaya yang ngajar alien semua,†sindir Fikri.
Fikri pun heran RUU Omnibus Law Cipta Kerja membabat ketentuan pidana bagi setiap orang atau lembaga pendidikan yang menerbitkan ijazah palsu dan seseorang yang menggunakan ijazah palsu. Padahal ketentuan tersebut diatur di Pasal 67, 68, dan 69 UU Sistem Pendidikan Nasional.
“Kini semakin lengkap, bahwa pengajar asing itu yang bisa jadi enggak jelas kualifikasinya, asal dia bule, mungkin dengan bekal ijazah jadi-jadian, maka boleh mengajar di sini (Indonesia). RUU ini memang memberi keleluasaan lebih bagi alien untuk menginvasi bumi Indonesia,†ketusnya.
Berikut ketentuan pidana bagi pelaku dan pemberi ijazah palsu dalam UU Sisdiknas yang dihapus di RUU Omnibus Law Cipta Kerja:
Pasal 67
(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68
(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (Kumparan/d)