Aku ini orang kampung. Masa kecilku dihabiskan di antara daun-daun nipah. Sudah itu mengembalakan itik, mengurus ternak ayam, menjemur padi dan berburu kera karena memakan buah-buah kelapa. Namanya tinggal di dusun, mana ada penduduk yang tinggal di gedung pencakar langit. Yang ada, dinding rumah dari tepas, atapnya dari daun rumbia. Anak-anak yang putus sekolah setiap saat tampak main alip cendong.
Nun, di desa Sungai Dua Hulu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan disanalah aku dibesarkan. Kini desa itu masih ada. Bahkan, keadaannya masih seperti yang dulu. Tiap tahun jadi langganan banjir. Untuk menuju ke sana pun harus butuh perjuangan keras, naik sampan dan berjalan kaki.
Hidup keluargaku amatlah miskin. Ayahku yang kini sudah almarhum itu hanya petani di lahan yang jadi langganan banjir. Emakku ibu rumah tangga biasa. Kami benar-benar hidup pas-pasan. Saat itu, ingin rasanya aku berbuat untuk merubah keadaan. Melepaskan diri dari belenggu kemiskinan yang amat tidak mengenakkan itu. Tapi apa daya, aku masih buta, tak tahu harus mulai dari mana,.
Aku mengetahui dunia luar dari radio transistor dua band milik Uwakku. Dari situlah aku mulai mengetahui bahwa di luar sana ada seribu kesempatan menanti.
Aku pun mulai pandai berangan-angan. Menggapai-gapai sesuatu yang belum pasti. Bahkan ayahku sempat ketawa terbahak-bahak mendengar rencanaku ingin kuliah.
"Sudahlah itu, tak penting berangan-angan, tinggi pun sakolah kau tak ado gunonyo.
Kau tengok si apo tu ha, ada gelar SH keladang jugo nyo. Ke ladang sajalah kau," katanya padaku.
Ya, aku masih ingat, semuanya itu dikatakannya ketika kami baru pulang mengambil daun nipah.
Aku paham, kenapa dia mengatakan demikian. Ia sudah sering melihat anak-anak sekampung kami yang sekolah tinggi tapi akhirnya pulang kandang juga. Gelar sarjana yang tadinya diharapkan bisa mendongkraknya jadi bos, akhirnya cuma bekerja diladang. Padahal, untuk mendorong si buah hati menjadi tukang insinyur, misalnya, ada orang tua yang menjual tanah. Kenapa demikian? Mereka pulang kampung ternyata tak tahan hidup menderita diperantauan.
Baiklah kalau begitu. Aku bertekad, apa pun ceritanya aku harus sekolah, walau bagaimanapun caranya. Akhirnya kuputuskan bersepeda 30 Km sehari pulang pergi. Dari Pasar Banjar ke Tanjung Balai. Dan itu kulakukan sampai SMP. Kemudian, semasa duduk dibangku SMA aku jadi penyapu sampah jalan. Tahun 1996 sampai Tahun 1999, Pajak Bengawan dekat Titi Silau, Pajak TBO (monza) dan Pasar Ikan dekat Stasiun Kereta Api Tanjung Balai akulah setiap hari yang mengangkat sampahnya serta mengkorek saluran airnya. Itu kulakukan dari jam 4 sore sampai jam sepuluh malam. Dalam sebulan oleh Dinas Pasar Kodya Tanjung Balai, aku digaji Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah. Waktu itu kepala Dinasnya Nurdin Dalimunte, sementara Seksi Kebersihan Pajak Syahrul Effendi, yang selalu bervesva kemanapun. Dari situlah aku membiayai sekolah, kursus komputer dan bekalku kuliah di Medan.
Maaf cerita ini dibuat bukan bermaksud untuk membusung dada. Tapi buat bekal bagi adik-adikku dan siapapun yang masih terjebak dengan lingkaran setan tersebut. Apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin. Pesanku, jangan takut untuk bermimpi. Biarkan orang lain mencemooh, asalkan yang kita lakukan itu untuk merubah hidup. Sekolah setingginya. Karena dengan ilmu kita bisa menggapai apa saja. (*)