Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Sabtu, 09 Agustus 2025
Cerpen :

R E S I T A

Karya : Todi Parham- Medan
- Minggu, 04 Mei 2014 20:48 WIB
550 view
R  E  S  I  T  A
ENTAH mengapa aku harus memaksakan diri untuk kembali ke Medan  dengan menumpang kendaraan umum. Padahal keempat anggota timku dan kepala cabang bank sudah menyiapkan mobil dinas untuk menghantarkan  aku  ke Medan.

Untuk mengikuti  seminar bimbingan tes kami di Denpasar Bali, khusus bagi ketua-ketua area dan wilayah. Alasanku sederhana, demi efisiensi. Mengingat jauh dan lamanya waktu tempuh Balige-Medan.

 Selain si pengemudi kelelahan dan berisiko tinggi di perjalanan karena hari itu juga harus kembali lagi ke Balige, berapa biaya yang harus dikeluarkan cabang untuk bensin premium, uang perjalanan dinas luar kota, dan lain lain.

Padahal hanya untuk menghantarkan satu orang saja. Sementara besok pagi harus sudah berangkat dari Medan  menuju Denpasar via Jakarta. Surat tugas, tiket pesawat, uang saku, dan lain sebagainya sudah disiapkan petugas general affair Kantor Wilayah bank kami.

Sempat aku bergurau dengan para anggotaku, kepala cabang bank dan beberapa staf lain di depan lobi bank.  Jarang-jarang kejadian seperti ini. Baru  tigaperempat jalan mengaudit cabang,  tiba-tiba sudah dipanggil untuk tugas lain.

Lagi pula, dari Balige ke Bali. Untung tidak diteruskan ke Belgia!.

Apalagi ketika aku berkelakar, siapa tahu aku nanti  dapat jodoh di kendaraan umum yang ku tumpangi, merekapun  tertawa terbahak-bahak.  Seorang lelaki kekar bertattoo  agen angkutan umum meminta kami menunggu sekitar satu jam, menyatakan bahwa eltor (el toluratus/L-300) yang  kami pesan sejak pagi tadi  mengalami gangguan mesin.

Tapi ketika tiba-tiba ada bus besar khusus Dolok Sanggul-Medan via Pematang Siantar meluncur ke arah kami, tanpa banyak komentar  aku hentikan.
Sambil menenteng tas pakaianku, cepat-cepat aku  melompat kedalam  bus lalu  melambaikan tangan.

Mereka  terheran heran  menyaksikanku  yang tiba-tiba saja  sudah berada dalam bus yang tanpa basa basi langsung  melaju kencang.  Bus angkutan umum milik perusahaan ini pernah kutumpangi sebelumnya.

Ketika hendak duduk dibangku yang masih kosong,  nomor satu paling depan sebelah kiri, dan aku memang lebih suka duduk di bangku paling depan, tiba-tiba jantungku berdegup kencang.

Wanita muda usia itu, yang sudah lebih dulu duduk dikursi nomor dua, di sebelah kananku, sangat kukenal betul. Siang hari itu penumpang dalam bus tampak lengang.

Mata kami sempat lama bertatapan sebelum aku normal duduk dan bersandar. “Resita”, kenangku. “Bang Tumpak”, sapanya lebih dulu. Namun bibirnya tampak agak  gemetar. Gugup kala menyebut namaku.

“Yah, betul aku Tumpak”, sahutku ramah menyalaminya. Supir bus berambut keriting setengah tua itu sempat memperhatikan perkenalan kami. “ Dari mana dan mau kemana dek Resita“,  tanyaku.

“Dari Siborongborong, dari rumah opung. Mau pulang ke Medan  bang”, “Loh, kamu sudah tinggal  di Medan sekarang. Tidak di Jakarta lagi?” , “Betul bang. Aku sudah  tinggal di Medan sekarang,” jawab Resita.

 Perempuan yang tetap masih cantik itu adalah mantan kekasihku. Wajahnya hampir tidak  berubah. Hanya sedikit kelihatan kurusan.

Terus terang, gara-gara perempuan inilah maka aku belum menikah hingga diusiaku yang persis kembar empat saat ini. Aku pernah patah hati dibuatnya.
Resita menikah dalam usia muda, kalau tak salah berusia sekitar duapuluh satuan. Menikah dengan seorang pengusaha muda sukses di Jakarta.
 Kini , empat belas tahun sudah berlalu. Resita, secara fisik muncul kembali di hadapanku. Bukan mimpi, tapi kenyataan.

Teringat kala empat tahun silam  aku dimutasi dan bergabung dengan tim audit wilayah bank kami di Medan.

Selain bisa kumpul bersama dengan Ibunda dan adik perempuanku Emma, karena Ayah telah lama meninggalkan kami. Setiap tahun, rutin, persis di hari natal dan tahun baru, aku selalu ambil cuti dan pulang ke Medan.

 Kini, sudah lebih empat tahun aku bisa kumpul permanen dengan Ibunda dan Emma, adikku satu-satunya. Juga tak disangka, bisa bertemu kembali dengan Resita, meski ia masih berstatus istri orang.

Di sepanjang perjalanan, kami tidak merasa mengantuk karena terus bercerita tentang masa lalu. Ketika hendak memasuki kota turis Parapat, Resita tampak kedinginan. Tanpa merasa risih, kuambil jaket dari dalam tasku lalu segera kupakaian ke tubuhnya dan Resitapun menurut saja.

Seusai makan di Parapat, baru kuketahui bahwa Resita ternyata telah disia-siakan suaminya. Sejak enam tahun silam. Karena tak mau dimadu,  maka ia putuskan untuk bercerai tanpa sudi menerima harta dari mantan suaminya.

Alasan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain karena delapan tahun berumah tangga namun belum dikaruniai buah hati. Memang, menurut diagnosa dokter bahwa Resita mandul.

Tak kuasa menahan derita dan stres atas perceraiannya, Resita bahkan sempat dirawat inap secara berulang-ulang di rumah sakit  di Jakarta. Kedua orangtua Resita menyesali seluruh “dikte” mereka terhadap putrinya.

Tak tega melihat putri semata wayangnya stres dan sakit-sakitan,  kedua orangtua Resita  memutuskan pindah  ke Medan setelah rumah di Jakarta dijual. Pensiun dari pegawai negeri, Ayah Resita dan Ibu mengajak Resita untuk mengadu nasib di Medan, kota kelahiran sang Ayah.

Luar biasa!, Medan membawa berkah bagi keluarganya. Setahun sejak berdomisili di kota Medan, ternyata usaha bisnis katering Resita mengalami sukses.

Sejak lepas Parapat, air mata Resita selalu meleleh membasahi pipinya yang ranum. Tanpa terasa hari sudah  menapak senja. Bus yang kami tumpangipun  sudah siap-siap memasuki poolnya  di jalan Sisingamangaraja.

Hati paling dalam ternyata tidak bisa dibohongi. Terus terang, bukan karena merasa kasihan atas penuturan kisah sedih rumah tangga yang dialami Resita.

Bukan pula  sebagai pelarian. Meski usiaku sudah terbilang “toras atau pemuda tue”, kalau soal wanita cantik dan muda sebenarnya masih banyak yang mau sama aku dan bahkan untuk kupersunting.

Bukan sombong, terutama  karyawati di kantor yang merupakan bawahanku, mereka bisa jadi antri, itupun  kalau aku mau.

Bak cinta lama bersemi kembali. Lain rasanya hati ini. Semakin dalam kuketahui tentang dirinya, bahkan  sekalipun sudah menjanda dan hidup keluarganya kini menjadi sangat sederhana, bertolak belakang dengan kehidupannya yang lalu, kadar cintaku semakin mengental dan menggumpal.

Selama dalam perjalanan sekitar lebih enam jam tersebut bahkan kami cepat akrab,  kembali seperti ketika dulu masih masa pacaran.

Tanpa kuduga, rupanya aku sengaja dijemput mobil dinas kantor wilayah. Ini pasti atas inisiatif dan suruhan para anggotaku di Balige. Sempat makan malam disebuah restoran Minang-Melayu, lalu supir pun kuminta untuk mengarahkan kepala mobil ke arah Padang Bulan, mengantar Resitapun pulang ke rumahnya.

Meski Resita menawarkan untuk mampir dulu ke rumahnya, namun kukatakan lain kali saja, sepulang dari Denpasar. “Salam buat Bapak dan Mama ya dek Resita”, kataku. Resitapun melambaikan tangannya dikegelapan malam tersebut.

Malam itu, mataku memang sulit terpejam. Ibu dan adikku Emma tentu tak tahu rasa gelisah yang sedang menggelayuti perasaanku. Serasa dia masih tetap disisiku. Wajahnya, ahhh .....! membuat aku terindu-rindu, serasa cepat sampai dari Balige ke Medan.

Jaket yang kupakaiankan ke tubuhnya ketika di Parapatpun  entah mengapa  masih tetap dikenakannya. Aku lupa meminta dan diapun mungkin lupa mengembalikan. Betul saja, dini hari, aku menerima sms dari Resita bahwa dia lupa mengembalikan jaketku.

Hatiku malah bahagia, biar saja jaket kesayangaku itu tetap meliliti tubuhnya. Tapi balasanku bahwa jaketku akan kuambil ke rumahnya setelah aku pulang dari Denpasar.

Selama empat hari di Denpasar, aku sangat berharap Resita akan menghubungiku via hp, paling tidak meng-sms.  Tapi harapanku ternyata tak kunjung kesampaian.

Selama empat hari di Denpasar itu, meski tetap fokus pada materi seminar namun wajah Resita tetap saja menggerayangi pikiran dan kedua bola mataku. Kuusahakan untuk menghapusnya, namun selalu saja sia-sia.

Sebenarnya, sejak dua hari mengikuti acara seminar/temu auditor aku berharap Resita  akan menghubungiku via ha-peku, tapi nihil. Sedangkan untuk berinisiatif  lebih dulu menelepon, entah mengapa rasanya aku selalu gusar.

Hingga tiba-tiba terdengar suara dering hp dari Resita. “ Horas bang Tumpak”. Tapi suara Resita agak gemetar. “ Horas juga dek”, sahutku penuh bahagia. “ Lagi sibuk ya”, “Ohh tidak”, kataku.

 Cukup lama kami mengobrol. Sungguh, ternyata  aku masih menantinya. Aku masih mencintainya. Tapi sepertinya Resita belum siap. Mungkin pertama,  karena merasa berdosa pernah meninggalkan aku kawin dengan pria lain sehingga merasa  sudah tidak pantas lagi. Karena dia kini sudah menjanda, sedangkan aku masih lajang.

Kedua, dia sudah divonis dokter mandul, tidak akan bisa memberi keturunan.

Oleh karena itulah, Resita yang meski masih sangat mencintaiku, menjadi ragu, khawatir jika terulang kembali derita dan sakit hati yang pernah dialami sebelumnya.

Cukup lama Resita baru berhasil memerangi rasa traumanya jika kembali berkeluarga. Takut karena dirinya yang mandul kelak akan saya tinggalkan lagi.
Lama baru aku bisa meyakinkannya, bahwa aku masih tetap mencintainya tanpa memandang status dan masa lalu kehidupannya serta vonis dokter atas kemandulannya.

Puji Tuhan Bak mukjizat, Resita dengan tulus ikhlas mengiyakan dan menerima lamaranku untuk menjadikan dia sebagai istriku.

Seperti tanpa halangan. Ayah Ibunya setuju. Mama dan adikku Emmapun, yang memang sudah pernah  mengenal Resita,  juga merestui.

Semuanya kuserahkan kepada Tuhan. Kalaupun memang Resita yang sudah janda dan kunikahi ternyata mandul, itu risiko. Dan aku berjanji takkan pernah meninggalkannya sampai akhir hayatku.

Hingga selang setahun kemudian, kamipun  melangsungkan pernikahan di salah satu gereja dibilangan Kampung Keling Medan dan diadatkan di bilangan Menteng.

Satu tahun lebih pernikahan kami berlangsung, ternyata Resita tidak mandul. Terbukti,  Resita melahirkan bayi kami, seorang putra, berbobot 4,5 Kg dengan persalinan normal.

Resita istriku dan bayi kami dalam keadaan sehat, jasmani maupun rohani. Aku dan Resita sungguh amat bahagia. Kami saling mencintai secara tulus dan murni.

Malah kata Resita, putra kami ganteng seperti saya, papanya. Puji Tuhan !.******

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru