Aku beruntung terlahir dari keluarga yang menerima apa adanya. Semua berkah dariNya disyukuri saja. Sebab, kata orangtua, andai hasil dari apa yang dicari dengan halal disertai doa keluarga masih terus dianggap kurang, maka semua jadi dirasa serba kurang. Muaranya, menjadi manusia tak mensyukuri rezeki dariNya.
Sama seperti kehadiran kawan baruku di kelas baruku. Aku bersyukur Rini langsung dekat denganku. Kejadian seperti ini, langka sih. Selama ini, aku tetap berada di nomor urut belakang bila berhubungan dengan cewek. Tetapi, entah kenapa Rini kok sepertinya menaruh perhatian lebih ketimbang pada pria lain, khususnya rekan-rekan sekelas.
Rini orangnya sederhana. Tidak terlalu pintar tapi cukup lumayan menyerap ajaran dari guru. Jika bicara dan tertawa, tak pernah kulihat mulutnya terbuka lebar seperti cewek-cewek lain. Tangannya terus menutup mulutnya. Seperti gadis-gadis keratonlah.
Jika bicara dari telepon, suaranya seperti pakai nada. Penuh ligato dan mendayu. Sama bila ngomong denganku. Suara Rini lebih dekat mirip seperti orang bergumam ketimbang berkomunikasi seperti yang dilakukan banyak orang. Sudah begitu, Rini baik hati.
Kawan-kawanku bilang Rini bicaranya terdengar seperti kumur-kumur karena lebih banyak menutup mulut ketimbang dibuka. Konsonan katanya jadi tak jelas. Tapi bagiku tidak.
Tiap hari, sejak kami dekat, Rini selalu membawa makanan dari rumah untuk bekal di kelas. Tetapi, bila hendak dikonsumsinya, Rini tak pernah lupa menyodorkannya padaku. Ia bahkan tidak akan memakannya sebelum aku memulai. Kadang, meski sudah kenyang, aku ikut memakan walau sesuap.
Sudah... sampai situ saja cerita tentang perlakukan Rini untukku. Ada lagi sih, tapi rahasialah.
Kalau diajak bicara lain di luar konteks, Rini mengelak. Apalagi jika diajak kombur soal cinta. Tabu, katanya. Alasannya, seperti perintah orangtuanya, ke sekolah memang tujuan utama dan prioritas belajar.
Rini pun malas sekali ke luar kelas meskipun jam istirahat. Waktu yang ada digunakannya untuk mengulang pelajaran yang diberikan oleh guru terdahulu. Atau, ngerumpi denganku.
Rini baru ke luar kelas saat lonceng istirahat selesai di mana siswa harus berbaris rapi jali, teratur masuk kelas kembali. Ia pun dengan tertib melakukannya sesuai peraturan baku dari sekolah. Dan... akulah yang selalu mendampinginya.
Bila pulang sekolah, aku tetap bersama dan berniat membayar ongkos angkot tapi dengan halus Rini menolak. Namun kali ini Rini sudah menerima hingga membuatku heran. Tumben?
Suatu keterkejutanku pula kenapa hari ini Rini mau diajak jalan-jalan karena les terakhir pelajaran sekolah diciutkan untuk persiapan ujian nasional.
Karena baru pertama terjadi, aku bingung mengajaknya ke mana. Ke mal, belum waktunya. Ntar diusir sekuriti. Nonton, sama saja. Film belum diputar.
Sejak pergi pertama, Rini kini sudah mau diajak ke mana-mana. Aku pun mulai berani mengenalkan pada adikku. Tetapi, betapa kecewanya aku karena setengah mampus adikku menertawakan Rini. Semua ejekan dari sudut pandangnya ditujukan pada sahabatku tersebut. Yang paling mencengangkan, adikku bilang, ada susunan gigi Rini yang layak ditertawakan.
Aku tersentak. Selama ini aku belum pernah melihat. Tetapi ejekan adikku itu membuat aku penasaran. Namun, ternyata apa yang jadi bahan tertawaan adikku itu benar!
Tatkala kondisi itu kusampaikan padanya, aku malah diolok-oloknya. Sudah kubilang pada adikku untuk jangan mengolok karena pada hakikatnya manusia itu sama, tapi tetap saja aku ditertawainya karena aku dinilainya terlalu berlebihan memuji Rini.
Karena kerap diejek, aku jadi tak mau membawa Rini bertemu dengan adikku. Batinku cuma bilang, andailah Rini secantik Syahrini....
(f)