Tiap 17 Agustus, khususnya di lapangan menjelang peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perhatian khalayak tertuju pada barisan pengibar bendera.
Berbusana rapi, modelnya sama semuanya. Mulai dari rambut sampai sepatu. Sepertinya, anggota Paskibra itu kembar. Ya, kami adalah sama dan sebangun. Nafas dan detak jantung kami sama yakni ingin menjayakan Indonesia dalam tugas pengibar Dwi Warna.
Tak gampang untuk berada dalam tim tersebut. Bukan ingin memosisikan personil Paskibra lebih dari pelajar yang lain tapi memang sangat rapi dan ketat penyeleksiannya.
Mula-mula di sekolah. Kemudian diutus ke wilayah masing-masing. Terus hingga ke tingkat nasional. Aku pernah gagal ketika hendak mencoba menjadi anggota Paskibra. Saat itu di SMAN 1 Binjai.
Seleksi yang amat ketat. Tak hanya dari fisik dan kualitas pemikiran tapi terkait nasionalisme. Ketika pindah ke kota lain karena kepindahan tugas orangtua, di ibu kota Sumatera Utara - tepatnya di SMAN 15 Medan - aku terpilih.
Hasil yang maksimal tersebut bukan semata membahagiakan tapi jadi tanggung jawab besar. Kebetulan 3 abangku pun pernah menjadi personel Paskibra Sumut.
Oleh mama-papa, aku digembleng secara mental. Di karantina, yang langsung ditangani Kapt Kav Asep dari Yonkav 6/Serbu Asamkumbang, kami tak semata dimahirkan secara baris-berbaris tapi ditanamkan nasionalisme keindonesiaan.
Dari penggodokan tersebut kuketahui betapa menjadi anggota Paskibra bukan hal mudah. Apalagi jika ditilik dari posisi sebagai warga negara. Belum lagi dari hitungan fisik. Melangkah lebih lebar atau lebih kecil satu sentimeter saja dari personel lain, tidak boleh karena akan merusak struktur dan bangun kekompakan.
Sehari sebelum bertugas di tengah lapangan, kami dikukuhkan. Mulai saat itulah kehati-hatian semakin tinggi. Meski sehari dimungkinkan istirahat, tapi pikiran fokus pada tugas di lapangan. Saat memasuki lapangan menjelang tugas, hatiku semakin tak menentu. Setelah berdoa dan melihat tiang bendera, perasaan tenang. Apalagi melihat mama-papa dan keluarga yang berada di tribun, rasanya... ah adem banget.
Begitu Indonesia Raya dan Merah Putih berkibar sempurna di tempatnya, hati plong. Lapang. Tatkala seisi lapangan bertepuk mengapresiasi, aku justru menangis sejadinya. Tuhanku mendengar dan menjawab doaku.
Sambil menyusut air mata, aku menyaksikan mama pun menghapus air mata bahagianya yang tumpah sebab menyaksikan putrinya selesai menunaikan tugas mulia, menaikkan dan menurunkan bendera.
Meski tugas sudah ditunaikan dan Paskibra sudah dibubarkan tapi tanggung jawabnya tetap penuh. 17 Agustus 2017, secara naluri berkumpul dan membantu adik-adik anggota Paskibra menyelesaikan tugas dengan baik.
Aku bangga pernah menjadi anggota Paskibra.
(h)