Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 03 Agustus 2025
Cerpen

Waktu yang Terabaikan

* Karya: Muhammad Fria Fachrama Sumitro, SMAN 4 Pematangsiantar
- Minggu, 03 September 2017 19:41 WIB
837 view
Pernah merasakan sakitnya hati ketika dibatasi, dihalangi bahkan diputuskan untuk harus berpisah dengan orang yang dicintai? Aku merasakannya. Batinku meronta, ingin menuntut balas tapi aku berhadapan dengan tembok angkuh yang kokoh. Semakin sakit rasanya ketika mengetahui orang yang dicintai pun menangis meminta tolong tapi tak seorang pun mau membantu. Bahkan untuk mendengarnya, tidak.

Tetapi, aku coba tegar. Dalam doa untuk tiap napasku, meminta bantuanNya. Yang kutahu, tak mungkin Allah Swt memberiku cobaan yang tak mampu kupikul. Hal tersebut kuucapkan pada orang yang kucintai.

Aku mulai menata hari. Tetapi, masih ingat padanya. Saking fokus padanya, orangtuaku pun terabaikan. Setelah mulai bangkit, aku ingat kata orangtuku, untuk apa sukses kalau pada akhirnya melupakan keluarga?

Aku tinggal di pedesaan dari keluarga pas-pasan tapi aku punya segudang cita-cita yang muaranya untuk hidup bahagia. Saat bersikukuh merantau, aku hanya berbekal doa ibuku.

Ketika kukabarkan ke kampung bahwa aku luntang-lantung, ibuku menangis. Mula-mula marah tapi ia paham. Aku pun menjelaskan bahwa merantau adalah demi orangtua. Aku ingin membahagiakan mereka.

"Salahkah jika ibu merindukanmu?" Suara ibu pelan sekali tapi masih terasa kelembutannya. "Ibu cuma mau kamu sering pulang," lanjutnya.

"Ibu kan, bisa telepon aku. Ibu gak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri."

"Mungkin suatu saat, kamu mengerti apa yang ibu rasakan."

Aku mulai masuk ke lapangan kerja. Konsekuensinya, jadi makin sibuk. Kadang terlintas bahwa ibu terus sendirian di rumah. Aku  sama sekali tak punya waktu bersamanya. Aku tersadar setelah kejadian saat Deyarma meneleponku.

Suaranya yang gemetar membuatku takut. Ada masalah apa dengan ibu?

Ia bisu sesaat dan terasa sekali menahan tangis. "Ibuuu tadi menghadapNya..."

Waktu serasa berhenti. Aku tidak fokus lagi mendengarkan apa yang Deyarma katakan. Aku tiba-tiba tak bisa berdiri. Aku berteriak keras sampai tetangga di kos terbangun.

Deyarma masih marah-marah tapi aku lebih ingin secepatnya menemui ibu.

Semua yang datang menyabarkan atas kematian ibu, kuanggap pura-pura. Aku tak dapat menahan penyesalanku.

Dari situ, aku menyadari bahwa aku telah memihak pilihan yang salah. Aku jadi sadar dengan apa yang dikatakan ibu selama ini. Ibuku tak memerlukan banyak hadiah. Ia hanya butuh hadirku, tatapan mataku dan senyum hangatku.

Yang paling membuatku kesal, aku tidak lagi dapat melihat jasad ibuku. Soalnya, perjalananku dari tanah rantau ke kampung, butuh berhari-hari.

Sampai di makam, aku hanya menemukan gundukan tanah merah segar. Malam hari, setelah petangnya aku berziarah, aku ke makam ibu.

Di sana sepuasnya kutumpahkan kekesalanku. Nisan dan tanah yang mengubur jasad ibu, kupeluk sesukanya. Seolah aku berada di pangkuannya.

Keesokan harinya, aku bertemu pada seseorang yang dulu pernah singgah di hatiku. Dari raut wajahnya, ia merasakan sakitnya hatiku. Ia mencoba menghiburku, tapi apapun yang diucapkannya tak akan mampu mengembalikan ibuku ke hadapanku.

Apalagi orang yang pernah kusayangi itu sudah berkeluarga dengan pria lain. Pertemuan kali ini justru dua kali menambah kepedihan dan kekalahan serta kekesalanku.

Sambil menahan amarah, aku menyalahkan diri sendiri. Selama ini terlalu sering lalai, selama ini tak pernah memanfaatkan waktu yang ada dan selama ini aku meremehkan sang waktu.

Sampailah aku di sebuah titik di mana aku melihat diri ku sendiri memohon agar waktu terulang kembali. Juga, agar aku bisa menjaga mu kembali. (d)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru