Diam-diam aku mengagumi Supri. Ya, si Supri, cowok yang terus tampil di depan bila dalam urusan sekolah. Mulai dari upacara bendera hingga lomba olahraga ke luar sekolah hingga jadi kesayangan banyak guru. Tetapi, jika untuk lingkup kelas, ia ogah.
Seperti lomba voli antarkelas, Supri beradu kemampuan agar masuk dalam tim. Emang sih... hanya dalam hitungan jari yang punya minat bermain bola dengan menggunakan tangan tersebut. Tetapi, karena kesungguhannya, Supri jadi masuk tim sekolah bila ada pertandingan ke luar.
Sama seperti dengan bola kaki. Supri berjuang sekuat tenaga masuk dalam tim. Selain itu, untuk tim futsal, Supri pun ngotot. Singkatnya, ia tidak pernah mau mundur selangkah pun untuk urusan membawa nama kelas dan nama sekolah.
Aku sempat kepo. Bertanya padanya, apa sih motivasinya ingin terus masuk menjadi anggota tim olahraga. Padahal, tak hanya harus memiliki fisik yang kuat tapi juga kualitas keuangan.
Masalahnya, menjadi olahragawan kan harus mengonsumsi makanan bergizi ditambah puding. Dari sisi ekonomi, aku menilai Supri biasa-biasa saja.
Karena kengototannya itulah membuat aku semakin kagum padanya. Satu hal yang belum terjawab, mengapa jika pertandingan antarsiswa sekelas, ia selalu kalah?
"Manusia itu kan seperti roda. Kadang di atas, kemudian di bawah. Sama seperti aku," jawabnya.
Tapi aku merasa mustahil Supri bisa kalah bila bertanding dengan rekan sekelas. Tetapi, kalau untuk pelajaran, Supri tak pernah kalah. Ia masuk dalam jajaran terbaik. Paling banter berada di posisi kelima.
Berprestasi di banyak bidang, Supri tak menonjol soal cewek. Jika kami rata-rata suka menggoda cewek, ia tetap menghindar. Bahkan ketika kujodoh-jodohkan dengan cewek cantik, ia menolak. Alasannya, tak enak memacari kawan sesekolah. Tetapi, ketika ada cewek dari luar sekolah yang naksir padanya, Supri berdalih orangtuanya marah karena usianya belum mencukupi untuk pacaran.
"Maksudmu, nunggu kakek-kakek dulu baru mengenal cewek," protesku. "Kau itu tak hanya berprestasi tapi tampan lho. Jangan sia-siakan masa mudamu!"
Supri tak menjawab. Ia hanya senyum. Ketika terus kudesak, Supri mengaku tak pede dekat dengan cewek. Alasannya karena kondisi keuangan.
Saking inginnya aku agar Supri punya pacar, aku janji memodalinya tapi sahabatku itu tetap menolaknya. Ragam alasan dikemukakannya hingga aku menyerah.
Suer... aku ingin seperti Supri dalam hal prestasi. Aku juga ingin jawara dalam hal olahraga. Soalnya, cewek zaman now kan suka dengan cowok yang tubuhnya atletis seperti Supri. Aku sudah mencoba membentuk tubuh agar lebih kekar, tapi tak bisa.
Aku sampai menginap di rumah Supri hanya karena ingin tahu aktivitasnya. Semula ia menolak dengan alasan rumahnya terlalu kecil tapi aku ngotot.
Lihatlah agenda si Supri selepas sekolah. Ia membantu orangtuanya yang mengusahakan kedai. Selain itu, semua keperluannya, dipenuhinya.
Supri mencuci baju dan sepatu kotornya setiap Sabtu. Hari Minggu, membersihkan kamarnya. Aku sampai malu hati.
Saat masih enak-enaknya tidur, Supri sudah bangun. Pagi-pagi membuka kedai. Terus melanjutkan pekerjaan yang lain. Ketika aku terbangun, ia baru saja membaringkan badan di sampingku dengan keringat membasahi tubuhnya.
Pantas saja badannya semakin kokoh dengan otot menyembul. Selama ini kupikir Supri ikut gym secara teratur.
"Ah, aku hanya gym alami kok," ujar Supri.
Aku juga sebelumnya menduga Supri ikut bimbingan belajar hingga terus juara di sekolah. Padahal, di sela menjaga kedai, ia membuka buku. Yang aku heran, Supri tak pernah memainkan smartphonenya di rumah.
"Untuk apa main HP kalau cuma menghabiskan pulsa," tanyanya. "Lagian, aku tak punya duit membeli pulsa," tegasnya.
Aku terobsesi mengikuti gaya hidup Supri, tapi tak bisa. Sehari tak memegang HP, duniaku rasanya terhenti. Beda dengan Supri yang waktunya tertata rapi.
(l)