Selamat Tinggal Orang-orang Terkasih

Masa-masa indah di sekolah segera usai. Memasuki semester akhir. Artinya tak ada lagi waktu untuk nyantai. Jika persahabatan selama hampir tiga tahun diisi dengan canda, mulai fokus pelajaran.

Kawan-kawanku satu kelompok pun memahami. Aldera, Anggi dan Geby bahkan sudah diwanti-wanti orangtuanya untuk menghentikan aktivitas di luar sekolah. Soalnya, ada tambahan untuk mata pelajaran khusus.

Aku pun mulai mengurangi aktivitas berselancar di dunia maya. Mula-mula memang merasa aneh. Seperti kesepian sendiri.

Sama seperti awal-awal masuk kelas saat bertemu dengan rekan-rekan baru. Asing dan malu-malu untuk berkomunikasi. Beda sekarang, saling bertegur sapa tapi ala kadarnya saja.

Bersamaan fokus belajar, kami cerita tentang masa depan masing-masing. Ingin melanjut ke institusi pendidikan mana.

Aku oleh orangtuaku ingin melanjutkan pendidikan ke pusat. Artinya, harus pindah dari kota kelahiran yang ramai dengan kawan-kawan baik, rekan-rekan yang terkasih.

Secara berkelakar kukakatan, begitu tamat dan bertemu lagi dengan kawan-kawan, masing-masing sudah menggendong anak. Minimal sudah punya suami.

Tetapi, suer... aku ingin menikah dalam usia matang. Bukan ukurannya umur tapi kedewasaan pikir. Soalnya, untuk apa nikah muda kalau membawa sengsara.

Tengoklah kehidupan sebagian artis yang dilanda prahara. Nikah cerah yang mendatangkan kepedihan bahkan petaka. Namun argumenku ditertawakan kawan-kawanku.

Menurut mereka, kalau menikah di usia tua,  bakalan tak bahagia. Soalnya, umur sudah banyak tapi masih menggendong anak. Kwkwkwkwk. Benar juga ya.
Jika demikian, ikut perjalanan hidup sajalah. Namun, dalam mengarunginya harus diisi dengan usaha dan doa. (h)