Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Jumat, 27 Juni 2025
Cerpen

Di Sana Sini Senang

* Karya: Dimas Sastra Sinambela - SMAN 2 Rantau Selatan
- Minggu, 30 September 2018 19:51 WIB
1.279 view
Horeee camping lagi. Itu artinya kembali bersenang-senang. Bukan gembira tak tentu arah tapi mendekatkan diri dengan alam, menambah kualitas kemandirian. Soalnya, semua kebutuhan harian dipenuhi sendiri.

Mau makan, masak sendiri. Mau minum, ambil sendiri dari mata air alami yang pasti tidak tercemar polusi polutan seperti di kota. Emang sih yang diolah cuma mi instan tapi kan harus dikerjakan sendiri.

Kalau di rumah, bisa minta tolong sama mama atau ke asisten rumah tangga. Sudah begitu, memasaknya hanya dengan memutar tombol kompor gas. Menunggu beberapa saat, air sudah menggelegak dan memasukkan mi instan. Diceplok telur dan... klar.

Di camping pun bisa membawa peralatan seperti di rumah tapi perlu usaha. Selain itu, seharian digodok pemahaman soal Pramuka dengan pendekatan ketangkasan, menambah kualitas wawasan.

Meski kenikmatan menjanjikan tapi saya tidak langsung berani mendaftarkan diri. Bukan soal biaya. Kalau untuk kebutuhan, tentu bisa saja didapatkan. Tetapi, apakah mama dan papa mengizinkan.

Gak enak punya orangtua selalu protektif pada anaknya. Mama saya selalu saja was-was bila anaknya pergi menginap. Apalagi dengan yang namanya camping. Ia bisa tak tidur berhari-hari memikirkan saya bila hendak pergi dari rumah. Papa pun begitu.

Tanpa alasan, langsung bilang tidak! Kayaknya saya ini masih seperti anak ingusan, yang perlu disuapi bila hendak makan, yang harus dimandori bila hendak mandi, yang terus didikte bila hendak melangkah. Ah, zaman milenial sudah tidak begitu lagi. Hanya saja, mama papa tetap menyelidiki tujuan dan sasaran langkah saya.

Pernah sih ketika diajak camping satu semester lalu. Waktu itu tidak ada kaitan dengan kegiatan Pramuka sekolah saya tapi diajak oleh komunitas lain. Mama-papa bersikukuh tak menginzinkan tapi saya ngotot mau ikut.

Saya beralasan kegiatan diadakan Pramuka sekolah. Eeh,  secara diam-diam mama-papa mencek ke sekolah. Saya ketahuan berbohong.

Keduanya marah-marah. Sejak saat itu saya dihukum. Bila hendak camping, harus ada surat resmi dari Gudep Pramuka dan pihak sekolah. Aduh, pusingnya kepala Betmen mikirin kejadian itu. Saking pusingnya, saya ingin tidak punya kepala saja.

Sejak saat itu saya pun jadi malas-malasan bila ada yang ngajak camping. Jika ingin camping, saya berbohong. Minta adik papa yang menghubungi mama. Alasannya, pergi sama-sama, nginap di rumahnya.

Adik papa sih orangnya gaul. Mau memahami keinginan keponakannya. Entah kenapa papa kok beda. Mama pun beda. Kolokan.

Meski ajakan kali ini resmi, tapi saya ogah-ogahan minta rekomendasi dari Gudep Pramuka. Siapa kali sih saya ini... Bukan anak  mami, bukan pewaris konglomerasi. Jika dibandingkan kekayaan orangtua saya dengan kawan yang lain, harta yang dimiliki mereka paling seujung kuku kotor kekayaan orangtua rekan-rekan saya yang lain.

Hal lain, saya ingin jujur bahwa ingin camping. Ragam hal saya lalukan. Mulai dari pagi hari bangun lebih cepat. Kemudian bikin sarapan sendiri dan mencuci piring kotor serta baju sendiri. Mama jadi heran tapi saya tidak peduli.

"Entah malaikat mana yang mengubah sifatnya..." ujar mama ketika duduk malam di depan televisi. Saat itu saya sedang menyetrika baju sekolah. "Tapi aku senang karena sudah mau memerhatikan kebutuhan sendiri!"

"Serius neh, Ma," sahut papa. Dari suaranya kelihatan papa tak percaya dengan kemahiran saya.

Selama sepekan, saya pun tak mau memakan masakan olahan mama. Sampai ia heran. "Kamu memenci mama, ya?"

"Mama ini katrok kalilah," jawab saya. Kok menilai anaknya dari sisi negatif. Mana ada hak seorang anak membenci mamanya. Bisa durhaka! "Jadi kenapa tidak mau makan masakan olahan mama?"

"Masakan saya lebih lezat, Ma!"
Mama menantang, saya menjawab dengan olahan istimewa. Sebab selalu begitu, akhirnya saya berterus terang bahwa saya latihan mandiri. Sebab dapat tugas menjadi seksi konsumsi di camping yang akan datang. Artinya, tugas menyiapkan makan menjadi tanggung jawab.

Meski begitu, papa tetap dengan pendirianya. Saya tidak diizinkan camping. Aduh, sakit hati saya. sampai-sampai air mata saya menitik. Soalnya, apa alasan sama kawan-kawan kenapa tidak jadi ikut camping.

Segala cara saya lakukan tapi toh belum juga beroleh lampu hijau. Angan-angan senang dengan kawan-kawan pun sudah saya tanam dalam-dalam.

Sehari hendak berangkat, saya ngambek. Mengungsi ke rumah adik papa. Begitu sampai, langsung mengunci diri di kamar hingga menimbulkan tanda tanya.

Saya ceritakan kondisinya. Adik papa justru marah kenapa kejadian itu tidak diceritakan padanya jauh-jauh hari. Tak terasa, air mata saya jatuh.

Benar juga, kenapa tidak cerita seperti sedia kala. Jika itu dilakukan, pasti ada jalan ke luar. Sebab tidak ada jawaban, saya sembunyi di rumahnya tidak mau pulang-pulang.

Malamnya, mama datang. Membujuk saya untuk pulang tapi saya diam. Jangankan bersuara, membuka pintu kamar sepupu saja saya tidak mau.

Saya pasti jadi bahan bully kawan-kawan jika mereka tahu tidak jadi camping karena tak dapat izin orangtua. Pikiran seperti itu mendera kepala saya hingga terasa semakin pusing.

Saya pun memilih tidak sekolah karena bila bertemu rekan-rekan pasti mereka mencari tahu kenapa tidak ikut. 

Meski di kamar, pikiran saya tetap ke kawan-kawan yang hendak camping. Apalagi mereka terus menghubungi, baik dengan chat maupun VC. Tetapi saya tetap tak bereaksi. Ketika adik papa yang menghubungi, malas-masalan saya mengangkat.

Kabar suka darinya, saya diizinkan mama-papa camping. Seperti dapat undian, saya girang jejingkrakan di dalam kamar. Apalagi tak berapa lama mama datang dengan membawa tas berisi perlengkapan campingi yang sudah saya susun beberapa hari lalu dan diletakkan di kamar. (l)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru