Kalau tak salah ingat, dulu... guru di SMP pernah mengajarkan makna peribahasa 'seperti pucuk eru'. Lalu, apa bedanya dengan pucuk pinus? Sama-sama terombang-ambing bila ditiup angin.
Pohon pinus justru lebih mengasyikkan. Ditiup angin, ia tidak melawan. Ia tidak marah. Bahkan mengeluarkan desauan, yang menurutku terasa merdu. Membelai anak telinga.
Beda dengan desauan jika angin menerpa ilalang. Meski terdengar lebih keras namun bunyi ilalang terasa gersang. Seperti hendak terbakar. Padahal, pinus itu jika disulut api lebih gampang menyambar. Konon, batangnya mengandung minyak.
Entah mengapa, aku lebih suka dengan pinus. Itulah alasannya kenapa aku lebih suka berada di bawah rerimbunannya. Satu lagi, meski panas menyengat, tapi di bawahnya seperti dipayungi penuh. Mirip kipas angin yang ada airnya. Kadang hembusannya seperti basah.
Sama seperti sahabatku kali ini. Karena kegemaranku, ia jadi terbiasa bersamaku di bawah pohon pinus. Namanya, ah... aku tak mau memublikasikannya. Bahkan initialnya pun aku tak mau memberitahukan. Soalnya, sudahlah... yang pasti aku tak mau.
Karena kebiasaanku tiap minggu pagi singgah di bawah pohon pinus, ia lebih awal berada di sana. Seperti kali ini, saat hendak mau ibadah, ia berada di sana.
Kali ini, tangannya disembunyikan di belakang badannya. Sambil senyum-senyum ia menyambutku. Aku membalas. Terus terang, senyum itulah yang membuatku suka padanya. Tetapi, aku malu mengutarakannya.
Soalnya, masak aku menyukai murid sendiri. Selain beda usia, juga tabulah ... Meski demikian, aku tetap berkomunikasi.
Ritual ketemu di bawah pohon pinus bahkan menjadi agenda tetap. Jika selama ini Minggu pagi, maka ditambah lagi Sabtu malam.
Sepanjang malam kami cerita dan membahas apa saja. Kadang sampai dini hari. Kami bahkan tak peduli nyamuk memangsa. Kami baru berpisah ketika ayam berkokok.
Meski ngantuk, bahkan tak tidur sepejam mata pun, Minggu pagi ketemu lagi.
Aku coba menelisik apa yang di pegangnya. Begitu sampai, ia langsung menyerahkan hand bouquet.
Bukan soal mawar harum dan ranum tersebut, tapi kali ini ia mendekapku. Kuat-kuat hingga seperti tak berjarak.
Selamat Hari Guru! (d)