Medan (SIB) -R Mawarni Putri Tampubolon membimbing anak-anak di daerah terpencil di Sumut. Bersama para relawan yang bernaung dalam Yayasan Rumah Mawar Indonesia di Jalan Kenanga Sari No 26 Psr VI Tanjungsari Medan, ia mengedukasi anak-anak di daerah yang hidupnya dalam lingkaran komunitas nonmajemuk. "Berdasarkan pengalaman membimbing, anak-anak yang hidup dalam satu warna, cenderung tak maksimal optimismenya menatap ke depan," ujarnya didampingi Paul Ginting dari Mari Foto Medan, Jumat (7/12) di jeda Dinner Gathering Malaysia Healtcare bersama JCI Medan & HIPMI Sumut.
Ia membuka pengalaman saat mengedukasi anak-anak di daerah pesisir. Karena terus hidup di bibir pantai dengan lingkungan nelayan tradisional, generasi muda di wilayah dimaksud cenderung melihat bahwa masa depannya hanya akan menjadi nelayan. Kondisi itu, ujarnya, membuat anak-anak usia sekolah tidak memrioritaskan waktunya menimba ilmu. Apalagi sekolah formal tidak gampang didapat. "Perlu kerja ekstra untuk menumbuhkan semangat optimisme bahwa masa depan tak hanya menjadi nelayan yang dikungkung kemiskinan karena laut menjadi sumber kehidupan ke depan," ujar Mawarni.
Sama halnya ketika mengedukasi anak-anak di daerah pegunungan. Disebabkan orangtuanya melibatkan anak-anak bertani, seolah masa depan cuma menjadi petani tradisional yang mungkin hidupnya jauh dari makmur. Padahal, Indonesia sebagai negara agraris harus memodernisasi pertanian agar survive. "Jadi, setiap pekerja sosial atau relawan harus mampu memotivasi anak-anak agar jangan jadi 'pengabai' masa depan yang lebih baik," tegasnya.
Ia tak mau memublikasikan wilayah yang memiliki anak-anaknya 'mengabaikan' masa depan. Wilayah tersebut berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Yang membuatnya 'marah', di daerah itu, rumah-rumah penduduk ditempeli stiker 'Keluarga Sangat Miskin'. Anak-anak di wilayah itu tidak mau sekolah karena merasa menimba ilmu setinggi apapun ujungnya menjadi nelayan tradisional. "Saya protes. Stiker itu kan berarti memvonis. Lalu, jika sudah tahu warga miskin, kenapa tidak dicarikan jalan ke luar? Saya menangis," kenangnya. "Padahal program Presiden Joko Widodo dalam pengentasan kemiskinan, jelas... yakni tidak meratapi apalagi sampai menjual kemiskinan tapi memberdayakan ekonomi keluarga!"
Menurutnya, anak-anak yang sudah berpikir demikian, rentan dimasuki hal-hal negatif. Mulai dari persoalan pribadi yang menggaggu mentalnya hingga kemungkinan ideologi yang dapat berseberangan dengan kehidupan berbangsa dalam bernegara. "Kan miris, anak-anak itu tak mau bermimpi... apalagi mewujudkan cita-citanya!"
Meski demikian, Mawarni tak menyerah untuk membangunkan harapan anak-anak yang hidup dalam komunitas homogen. Ia mengundang warga asli yang kost di kota untuk pulang, membawa film dokumenter, bercerita tentang masa depan Indonesia yang berada di tangan dan pikiran anak-anak era sekarang. Membawa buku, membaca bersama, berbagi suka dan tertawa bersama.
Prinsipnya, hidup jangan hanya sampai bermimpi. "Kalau ingin mimpi, tidurlah. Tapi kalau ingin mewujudkannya, harus bangun, bekerja cerdas berjuang mengejar mimpi kita, tapi dalam prosesnya, harus konsisten dan tetap beretika," paparnya.
Yang dimaksud beretika olehnya adalah mengindahkan tata adat dan budaya. "Orang sekarang bilang harus sesuai dengan kearifan lokal dan budayanya. Setiap etnis di Indonesia kan punya aturan. Ya harus sesuai dengan budaya yang tumbuh di daerah tersebut," tegasnya.
Pada para relawan, Mawarni pun minta agar tetap menjaga tata krama, serta mengikuti adat-istiadat dan peradatan daerah yang didatangi. "Cara itu menegaskan bahwa kita atau saya yang datang mengedukasi, adalah orang budaya dan harus menjunjung tinggi budaya, agar tidak ada masyarakat yang tersinggung dan terluka hatinya!" (R10/c)