Harun bingung. Kemarin ayah mengajaknya ke mal. Kok ke swalayan? Bukankah ayah sakit. Meskinya kan menawarkan pergi ke rumah sakit atau apotek.
Saking bingungnya, ia mengulangi lagi ajakan ayah tapi orang yang disayanginya itu bersikukuh dengan ucapannya.
“Bukankah ayah kurang sehat?â€
“Kalau kurang sehat, tidak boleh ngemal?â€
Harus terdiam sesaat. Bahasa ayah membuatnya geli sendiri: ngemal! Udah kayak anak milenial.
“Gak yakin sama ayah?â€
“Wkwkwk...†tawanya meledak. Ayah milenial beda dengan ayah yang dulu, pikirnya. Kalau ayah-ayah yang dulu, bahasanya lebih santun dan teratur. Sekarang, ya itu... kayak ayahku. Tiba-tiba saja nyolot. Ayahku memang jago.
Sepanjang hari Harun mengkaji-kaji sendiri. Apa gerangan yang membuat ayah mengajak ke swalayan? Karena cerita tentang ‘Vanguard’ yang dibintangi Jackie Chan? Hmm... ayahku memang penggemar fanatik bintang Hong Kong tersebut.
Hanya saja, sudah lama ayah tidak menyaksikan aksi si Pendekar Mabuk tersebut di bioskop. Alasannya, siaran televisi dewasa ini bagus-bagus. Ada bioskop televisi hingga tak perlu bayar mahal ke panggung hiburan.
Begitu ajakan direalisir, Harun menyisipkan agendanya. Tetapi ia jadi terperanjat. ‘Vanguard’ tak jadi tayang. Ayah mengalihkan untuk nonton ‘Ip Man 4: The Finale’.
“Okelah,†sahut Harun memenuhi permintaan ayahnya. Suer, ia lebih suka nengok aksi Donnie Yen ketimbang Jackie Chan. Hanya saja, karena dari rumah sudah membayangkan aksi kung fu, untuk melihat tendangan maut guru Bruce Lee sudah tak terlalu antusias kali. Apalagi ia sudah pernah menyaksikan trilernya.
Pulang nonton, ayah membelokkan tujuan pulang. Makan di kafe. Dalam hatinya, Harun mencap ayahnya memang orangtua masa digital.
Makanan yang dipesan bukan bakso tapi spageti lafonte. Saat pesanan datang, begitu lahap ayah menyantap.
“Kapan ayah terakhir makan spageti?â€
“Kalau di Indonesia, beda dengan di Singapore. Sausnya lebih beragam!â€
Harun tiba-tiba terdiam. Kapan ayah ke negeri kota tersebut? Selama ini tidak pernah ngomong. Mama pun belum pernah memberi tahu.
Ayahnya pun cerita tentang rupa-rupa minuman pendampingi makan spageti. Entah apa yang diutarakan ayah karena begitu asing. Tetapi, cerita tersebut membuatnya semakin kagum pada ayah.
Belum selesai kekagumannya. Sound di ruangan tersebut diisi ucapan selamat ulang tahun pada Harun. Saking harunya, Harun menangis menerima ucapan selamat dari ayahnya.
Apalagi bersamaan dengan itu, barista di kafe datang bernyanyi sambil membawa tart dengan lilin menyala. Ayah pun bertepuk-tepuk sambil mengalunkan ‘Happy Birth Day to You’ mengiringi lagu.
“Kamu mau hadiah apa?â€
“Kan udah Harun bilang pekan lalu. Ayah lupa?â€
“Kalau itu, sudah ada di rumah!â€
Harun ingat. Di kamarnya, di atas lemari, ada bungkusan. Tetapi tidak berani dibukanya. Meski dua hari ini ia bertanya-tanya, kotak apa tersebut.
Harun pernah bilang pada ayah, minta dibelikan sepatu lengkap dengan jersey. Berarti kotak itu isinya hadiah ulang tahun.
“Hayo, minta apa lagi,†buru ayah yang membuat Harun bingung menyebut.
“Doa sajalah,†jawab Harun. “Harun berterima kasih sama Ayah sudah sangat sayang dan terus memerhatikan. Sekarang kita pulang,†pinta Harun.
Ia ingat pesan ibu, jangan lama-lama pergi karena ayah belum sehat. Apalagi obat-obatan yang jadi konsumsi tetap ayah tidak dibawa. Tiga hari lalu, pulang check-up, dokter menyarankan ayah lebih banyak istirahat dan harus mengurangi aktivitas melelahkan.
Tepat sampai di parkiran, tiba-tiba ayah mengeluh sambil memegangi dadanya. Semakin lama keluhan semakin kencang dan membuat Harun berteriak. Jeritannya semakin keras seiring ayah semakin lemas.
Sekuriti langsung melarikan ayah ke rumah sakit. Harun tidak mau berjarak. Ia genggam tangan ayahnya. Di dalam mobil, Harun melafalkan segala doa. Ia tak ingin ayahnya kenapa-kenapa.
Sampai di rumah sakit, ayah langsung dilarikan ke ICCU. Harun ingin masuk tapi perawat tak mengizinkan. Ia tak peduli, terus menerobos.
Tak lama berselang, ibu tergopoh-gopoh masuk tapi dokter mengatakan ayah sudah tak tertolong. (f)