Namanya Artha Jenever Roy Khafid Rahadi. Orang-orang memanggilnya Roy tapi ia suka disapa Artha.
“Kayak cewek!†ejek Francisca Berliana Hartati Palupi. “Roy kan kesannya macho!â€
Artha diam saja. Tetapi hatinya berkata, ukuran macho bukan dari panggilan tapi kepribadian. Kalaupun dipanggil Roy tapi tulangnya lemah, melambai... kan kurang sempurna. Jika pun macho tapi terus lari dari tanggung jawab, tak elok.
“Aku manggil Roy saja ya!â€
“Tahu William Shakespeare?†tanya Artha. “Pernah baca Positioning: The Battle for Your Mind, Al Ries? Atau terjemahannya?â€
“Aku sih suka bokep! Wkwkwkwk,†jawab Tati.
Artha jadi malas bicara tapi untuk menundukkan sahabatnya, ia cerita mengenai filosofi kehidupan pujangga asal Inggris tersebut. Nama tidak ada arti bila tidak berisi.
“Tapi aneh lho. Cowok semachomu dipanggil Artha,†balasnya. “Kok geli banget!â€
“Terserahmulah!â€
Artha tetap pada pendiriannya. Bila ada kawan-kawannya memanggilnya Roy ia pura-pura tak dengar. Ia tak mau menoleh. Artha baginya sudah lebih dari sempurna. Pemberian orangtua harus dihargai. Sebagai penerima ia berprinsip, tak boleh merubah-rubah.
Bukan hanya kawan yang baru kenal yang bertanya soal Roy, guru yang sudah tiap hari bertemu dengannya selalu terkecoh. Soalnya, bila mengabsen kan nama depan Roy itu Artha hingga terus menduga bahwa pemilih nama tersebut seorang cewek. Perempuan cantik.
Apalagi memerhatikan nilai yang didapat Roy, anggapan orang pasti Artha itu cewek cantik, pintar dan smart. Artha pun tidak peduli ketika namanya jadi olok-olokan.
“Kamu udah nyiram bunga, Artha,†ucap Tuti. Nada bertanyanya memang penuh ejekan tapi Artha tak ambil pusing.
Apalagi Artha memang mendapat tugas menyiram tanaman dari ibunya. Ibu Artha itu pecinta tanaman hias. Ia minta putranya membantu merawat. Tiap pagi disiram sedikit dan petang lebih banyak.
Hanya saja, ketika tiap ketemu diejek demikian, Artha kesal juga. Timbul niat dalam hatinya menaklukkan Tati.
Mulai sekarang hatinya terbuka. Selama ini Teti memang selalu mencandai tapi ia cuek. Tati bahkan terang-terangan seperti ingin dekat namun Artha tak mau.
Gak enak sih dekat dengan cewek yang tiap hari ketemu. Bisa bosan. Jika dekat tapi tak ada perasaan lain, mungkin dapat diterima namun selebihnya, tidak. Hanya saja, demi membalas rasa tak enak pada perempuan cantik itu, ia memaksa diri menerima.
Tidak sulit, hanya hitungan hari Tati lengket dengannya. Berdua-duaan di kelas. Istirahat pun terus bersama. Rekan-rekan menglasifikasikan mereka pacaran.
Tati bahkan memosting foto kemesraannya dengan Artha di akun pribadinya. Memang, Artha kini sudah mau pergi dengan Tati. Meski masih semilockdown, Artha bersedia pergi ke pantai.
Ia menerima semua celoteh Tati. Mulai cita-cita bila setamat sekolah sampai ingin menikah di usia berapa. Tati ingin membangun rumah tangga sebelum menyandang gelar sarjana.
“Apakah kesarjanaan bisa memberi makan seseorang?†tanya Artha. Prinsip Tati beda dengannya.
Artha merasa, sarjana bahkan profesor pun jika belum siap untuk menjadi ayah atau ibu, jangan dipaksa. Itulah sebabnya ia tidak mau menjawab pertanyaan Tati soal pernikahan.
“Kamu sih gak serius!â€
“Maksudnya?â€
“Kamu itu nikah mau di usia berapa?†buru Tati.
Artha masih diam tapi dengan seyum menatap Tati. Hatinya berbisik, mau nikah sama siapa, pacar saja belum punya.
“Aku risi jalan berdua terus. Orang-orang nanya, kapan nikah? Lalu aku jawab apa?†kejar Tati.
Memang, kawannya banyak sekali bertanya bahkan mendesak soal nikah. Artha jadi terpojok juga. “Kalau aku di posisi menerima pertanyaan itu, balas saja, ‘kamu kapan mati?’ Kan gampang. Wkwkwwk,†paparnya.
Tati ikut-ikutan tertawa tapi sejujurhnya ia kesal. “Kok ditanya kapan nikah tapi balas bertanya kapan mati?â€
“Kan bener,†sahut Artha. “Langkah, rezeki, pertemuan dan maut kan diatur-Nya. Kelahiran, nikah dan kematian adalah satu paket dalam siklus!â€
“Jadi, kapan kamu nikah?â€
Tati bertanya serius. Artha menatap tajam. Tepat menghujam ke jantung. Tangannya melingkar sambil mengajak jalan bergandengan.
Angin sepoi-sepoi membuat pertemuan berdua makin mesra. Apalagi kala Artha menarik ujung rambut yang menempel di hidung Tati.
Bibirnya tersentuh telunjuk Artha. Tati menutup mata. Ia seperti melayang dalam genggaman Artha.
“Aku akan menikah ketika kamu sudah siap!â€
Tati terkejut. Gak sangka. Ia merasa Artha benar-benar siap. “Tentukan tahunnya. Biar aku siap-siap!â€
Artha terdiam. Lho, emangnya hendak menikah dengan siapa? Belum ada planing kok.
Ia ingin mengutarakan isi hati dengan jujur tapi khawatir Tati tak yakin. Artha mulai bersiasat. Didekatinya perempuan lain, yang kecantikannya melebihi Tati.
Tati cemburu. Ia marah pada Artha, berang pada si perempuan yang didekati Artha. Ditariknya tangan lelaki itu. Dihakiminya.
“Kau harus gentle. Pilih aku atau perempuan itu!â€
“Aku ingin membuktikan. Si Artha dapat menggapai hati perempuan secantik yang kumau!â€
Plok! Tangan Tati mendarat di pipi Artha.
“Kenapa kasar padaku?â€
“Kaupermainkan aku!â€
“Aku membuktikan, si Artha itu macho!†(p)