Langit mendung, hitam bergelayut. Seperti hati Arias yang sepi, tanpa bebunyian meskipun ilalang bergesek karena bayu berhembus kian kencang.
Ia berjalan lebih kencang. Khawatir keburu hujan yang membayang. Angin pun terasa basah, hampir sama seperti kabut pekat yang berada di atas kepala.
Tak melihat kiri-kanan, ia mengayuh langkah lebih cepat. Berlari. Didengarnya ada suara memanggil namanya tapi ia tidak memedulikannya.
Ah, hujan tak terbendung. Ia menepi. Di rumah gubuk yang biasa digunakan untuk berdagang. Dulu, di tempat itu ia kenal dengan seorang perempuan. Hubungan berlanjut, tapi wanita yang kemudian dipujanya, lebih memilih pria lain.
Hati Arias terluka. Sangat dalam. Jika diberi kesempatan memilih, merajut kembali atau melupakannya, ia ingin tidak melalui masa itu. Eh, kok tadi yang memanggil suaranya sama seperti milik perempuan yang sudah menorehkan luka, ya.
Bukankah Irene tidak di kota ini? Arias jadi menyesal, kenapa tadi tidak berhenti. Atau menoleh ke arah suara? Sekadar ingin tahu apakah yang memanggil tersebut memang Irene?
Ah, waktu memang cepat berlalu tapi kenangan indah mengenai Irene sulut dihapus. Arias jadi ingat pada masa-masa indah ketika bersama Irene.
Dari rumah ngaku ekstrakurikuler tapi pergi ke Medan. Duduk-duduk di Lapangan Merdeka dengan landmark indah. Menyaksikan pasangan-pasangan yang memadu hati, sama seperti dirinya.
Arian dan Irene baru pulang ketika terang matahari berganti dengan pendar cahaya kota metropolitan. Ketika hendak pulang, buru-buru naik Mebidang. Meski sudah setengah harian bersama, ia tak ingin melepas sahabat dekatnya begitu saja.
Ia mengantar. Melalui jalan yang tak dilewati. Sama seperti masa itu. Jalan sudah gelap. Meski sudah melepas Irene, Arias terus membututi perempuan manis itu dengan tatapannya. Sampai menghilang... jauh ditelan malam.
Ia mengelap peluh yang menitik di keningnya. Dingin, tapi jika mengingat Irene, langsung terasa gerah. Panas.
Kali ini disertai dengan degup jantung yang keras ketika smartphonenya berbunyi. Diperhatikannya, nomor tak terdaftar. Arias malas mengangkatnya. Di pikirannya, bagaimana cepat sampai rumah.
Ganti baju dan merebahkan diri di tempat tidur di balik selimut. Tetapi panggilan di peranti canggihnya terus hinggap. Agak malas diangkatnya tapi tak mau disapanya.
Dari seberang sana, si penelon terus memanggil. Hati Arias semakin menggigil. Suara itu... ah suara yang pernah membuatnya bahagia tapi berujung perih.
“Ada urusan apa meneleponku?†sahutnya dengan suara lemah. “Masih menyimpan nomorku?â€
“Kok nanya urusan apa?â€
“Bukankah kita sudah janji, jangan menghubungi aku lagi,†pinta Arias. Suara di sana, suara Irene... “Aku sudah bahagia dengan pilihanku. Menunggu selesai kuliah, nikah!â€
“Siapa perempuan yang berhasil menaklukanmu?†Irene terkejut. Suer, ia kesal pada Arias. Dulu mengaku tetap setia dan terus menunggu. Kok sekarang mengaku hendak menikah? “Aku tunggu kau di Tugu. Besok jam lima!â€
Arias terdiam. Tugu? Dulu pun di lokasi itu banyak diukir kesenangan tapi semua berujung berantakan. Ia benci tapi entah kenapa, ia turuti undangan mantan.
Begitu ketemu, Irene langsung menghujani Arias dengan ucapannya hendak menikah. Siapa perempuan itu. Kenapa tidak mengenalkan padanya. Kenapa tidak meminta restu padanya.
“Restu? Kalau boleh, kalian tidak saling mengenal,†putus Arias. “Sakit hatiku masih terasa! Kaumulai kauakhiri. Sesukamu!â€
“Tapi aku sekarang sangat menderita,†jawab Irene sambil memeluk tangan Arias.
Arias coba menghentak tapi akhirnya menyerah karena Irene terus memaksa. Ia cerita, hubungannya dengan Tommy kandas.
Tommy memang baik. Selalu menghujaninya dengan hadiah, tapi mudah jatuh hati pada wanita. Meski Irene selalu diprioritaskan, tapi ia tak suka. Beda sekali dengan Arias yang setia.
“Lalu, kenapa dahulu kautinggalkan aku?â€
“Maafkan aku!â€
Arias diam tapi Irene terus menghujani dengan permintaan. Ia ingin kembali, merajut masa indah seperti dulu. Arias luluh karena sesungguhnya ia belum punya pengganti Irene. (p)