Hujan lagi. Itu sama artinya aku harus berangkat lebih cepat. Soalnya, jalanan licin. Becek. Jika waktu seperti biasa, mungkin terlambar. Jika pun tidak, aku pasti tidak sempat membersihkan lumpur yang menempel di sepatu.
Rumahku di Kotapinang, di kompleks perkebunan yang punya jaringan internasional. Tetapi, meski global... ya itu tadi, akses infrastruktur belum seperti yang dibayangkan.
Rutinitas yang menyebalkan tersebut kulalui sejak di SMP. Ketika menjelang selesai di menengah pertama, orangtuaku menyarankan untuk menimba ilmu di kota. Sebenarnya bukan menyarankan. Lebih tepat memaksa.
Aku sih suka bahkan mengapresiasi. Tetapi, yang kupikirkan justru orangtua. Bagaimana beban mereka semakin bertambah. Selain ongkos makin tinggi juga kebutuhan sehari-hari meningkat.
Aku sih dititipkan di rumah nenek tapi kuyakin semua tidak gratis. Aku pun tak mau jika kehidupanku dibebankan pada nenek yang hidupnya mengandalkan dari pensiun sebagai istri kakek yang mantan petinggi di perusahaan perkebunan.
Aku pun menjadi tahu diri. Sama seperti ketika musim hujan bila SMP, aku bangun lebih pagi. Mengurusi keperluan untuk sekolah dan nenek. Nenek tidak terima karena ia punya asisten rumah tangga, tapi seperti yang kuurai di atas, aku tak mau membiarkan nenek diurus orang lain.
Meski selalu dimarah tapi lama-kelamaan nenek membiarkan. Aku pun semakin suka. Apalagi nenek jadi semakin dekat. Saking lengketnya, ia sudah punya rencana agar aku tetap tinggal di rumahnya meskipun sudah tamat sekolah.
Rencana lainnya, ia ingin menguliahkanku sampai setingginya. Aku jadi berpikir sendiri. Di tempat tinggalnya belum ada fasilitas pendidikan setinggi-tingginya. Itu sama artinya aku juga harus berpisah fisik dengan nenek.
Benar juga. Meski berat, nenek harus merelakan aku pergi dari sisinya demi menimba ilmu. Meski rencana tertunda karena pandemi Covid-19, saatnya aku akan pergi. (d)