Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 16 Juni 2025
Survei IPU : 82 Persen Politisi Perempuan di Dunia Alami Kekerasan

Pengurus Kaukus Perempuan Parlemen Kota Medan Klaim Tidak Pernah Alami Kekerasan

- Minggu, 30 Oktober 2016 14:10 WIB
299 view
Pengurus Kaukus Perempuan Parlemen Kota Medan Klaim Tidak Pernah Alami Kekerasan
Dame Duma Sari Hutagalung
Jakarta (SIB)- Satu survei dilakukan oleh Badan Kerja Sama Parlemen Dunia (Inter-Parliamentary Unions/IPU) terkait rentannya politisi perempuan akan kekerasan. Hasilnya mencengangkan, karena ternyata 82 persen politisi perempuan mengalami kekerasan psikologis.

Hal itu diungkap oleh Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) dari Fraksi PDIP, Irine Yusiana Roba Putri, yang mendapatkan data itu ketika hadir di sidang IPU, di Jenewa, Swiss, Minggu (23/10).

Kata Irine Roba, saat sidang, delegasi dari negara lain menyatakan bahwa kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam politik bukanlah mitos. Angka ini masih sangat besar, seperti ditunjukkan oleh survei IPU terhadap 55 anggota parlemen perempuan dari 39 negara.

"Survei IPU itu mengungkapkan, sebanyak 82 persen politisi perempuan mengalami kekerasan psikologis, sementara 44 persen mengalami ancaman kekerasan, dan 65 persen dari mereka pernah mendapat komentar bernada seksi terutama dari kompetitor atau parpol lain," kata Irine Roba dalam keterangannya diterima di Jakarta, Senin (24/10).

Namun, kekerasan psikologis ataupun diskriminasi sebagaimana disebutkan sering dialami politisi perempuan di parlemen tersebut, tidak pernah dialami anggota DPRD Medan dari Partai Gerindra, Dame Duma Sari Hutagalung. "Tidak pernah sama sekali, baik dari sesama anggota dewan yang laki-laki, partai bahkan kompetitor sekalipun," katanya.

Bendahara Kaukus Perempuan Parlemen Kota Medan itu juga menegaskan, sejak menjadi anggota DPRD Medan pada 2014 lalu, dirinya juga tidak pernah mengalami diskriminasi dari pihak mana pun. Dia mengaku mendapat kesempatan yang sama dengan politisi laki-laki dalam hal menyampaikan pendapat dan lainnya.

"Kalau komentar-komentar bernada seksi seperti menggoda-goda itu biasa. Di mana saja pasti ada. Tapi komentarnya juga tidak mengarah negatif yang merendahkan harkat dan martabat perempuan. Jadi, saya tidak menganggapnya itu sebagai kekerasan psikologis," katanya.

Meski begitu, Dame Duma mengakui ada kondisi-kondisi khusus yang dialami perempuan yang membuatnya tidak bisa bekerja maksimal, seperti saat menstruasi dan melahirkan. Karena itu, ia mengharapkan perempuan tidak didiskriminasikan karena keadaan itu.

"Sejauh ini, anggota DPRD Medan perempuan yang jumlahnya hanya 5 orang dari 50 anggota dewan, setahu saya sebagaimana yang saya alami tidak ada mengalami diskriminasi. Kami bebas berpendapat saat rapat-rapat dan lainnya," aku Duma.

Terkait kebijakan dan anggaran yang adil gender yang sedang diperjuangkan Parlemen Indonesia seperti dikatakan Irine, sangat didukung Dame Duma. Pasalnya menurut Dame, perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda dari laki-laki, sehingga harus memiliki akses terhadap fasilitas yang sesuai.

"Saya setuju penyusunan anggaran juga mengakomodir kepentingan perempuan, jangan hanya dari sudut kebutuhan laki-laki. Dengan begitu, perempuan bisa berkarya lebih maksimal," katanya.

Sekadar informasi IPU yang seluruhnya diikuti oleh 138 negara berkomitmen memastikan perempuan bisa berpartisipasi sama dalam politik. Sidang IPU ke-135 tahun ini berlangsung pada 23-27 Oktober di Swiss, dengan topik meningkatkan peran anggota parlemen dalam mengatasi pelanggaran hak asasi, terutama kekerasan terhadap perempuan.

Delegasi dari negara lain juga menyoroti kekerasan terhadap kaum minoritas dalam politik, baik minoritas menurut agama, ras, maupun orientasi seksual.
Pada forum ini, semua delegasi parlemen bersepakat bahwa perempuan harus meninggalkan sekat -sekat politik dan bekerja sama menghadapi ketidakadilan terhadap perempuan. (R19/SP/y)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru