Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 16 Juni 2025

Lusi Nainggolan Lestarikan Ulos untuk Mempertahankan Tradisi

- Minggu, 30 Oktober 2016 14:14 WIB
356 view
Lusi Nainggolan Lestarikan Ulos untuk Mempertahankan Tradisi
Samosir (SIB)- Orang Batak selama hidupnya tidak bisa terlepas dari ulos. Karena sebagian besar aktivitasnya selalu memakai ulos seperti saat pesta, acara adat maupun ketika meninggal dunia. Untuk itu, pelestarian ulos penting dilakukan demi mempertahankan tradisi.

Pentingnya pelestarian ulos ini sangat disadari Lusi br Nainggolan sebagai pemilik museum penjualan ulos di Desa Lumban Suhisuhi Toruan Simanindo, Kecamatan Samosir. Istri desainer Merdi Sihombing ini begitu memahami makna ulos dalam keseharian orang Batak.

"Umumnya ulos terbuat dari benang hitam, merah dan putih. Warna hitam disebut itom, merah disebut bara dan putih disebut sebagaimana aslinya," katanya.
Lusi juga menjelaskan jenis-jenis ulos seperti Ragi Hotang yang ditenun dengan motif rotan. Rotan yang tumbuh menjalar di tanah dan melalui ranting pohon lain membelit berkeliling hingga kembali melilit batang awalnya.

"Ini bisa diartikan perjalanan jauh kemungkinan besar kembali ke asalnya. Juga suatu pemahaman bahwa hati yang menjauh diharapkan kembali pada kasih yang ditinggalkan atau terabaikan," katanya.

Perempuan 33 tahun itu mengatakan, pelestarian ulos tergantung keberlanjutan dan kebutuhan pemakaiannya pada kegiatan tradisi orang Batak. Ulos juga pusaka budaya tak ragawi yang menyiratkan pijakan budaya asli Batak. Karena itu, berbagai motif ulos merupakan cerminan filosofi yang menjadi kekuatan karakter orang Batak.

"Pada zaman dulu, ulos dipakai untuk pakaian sehari-hari sebelum orang Batak mengenal tekstil. Kaum laki-laki memakai ulos di bagian atas disebut hande-hande, sedangkan pada bagian bahwa di sebut singkot dan penutup kepala disebut tali-tali," jelasnya.

Sementara ulos yang dipakai perempuan di bagian bawah hingga batas dada disebut haen. Sebagai penutup punggung disebut hoba hoba dan ulos selendang disebut ampe ampe. Sementara penutup kepala disebut saong. Apabila seorang ibu sedang menggendong anak, penutup punggungnya disebut hohop-hohop dan kain penggendongnya disebut parompa.

Namun, kata Lusi, tidak semua ulos dapat dipakai sehari-hari, karena ulos menggambarkan dunia batin orang Batak. Ulos juga bagian tradisi adat, simbol suatu peristiwa, representasi status individu hingga status sosial.

"Ulos memiliki nilai yang tinggi dalam upacara adat. Oleh karenanya tidak mungkin membicarakan adat tanpa ulos. Itulah tingginya fungsi ulos," katanya.
Salah seorang perajin ulos yang ditemui di desa yang sama, Franky Sihombing didampingi istrinya boru Simbolon, masih menenun ulos secara manual menggunakan alat tenun bukan mesin yang disebut "kassuksak".

Menurut boru Simbolon yang menenun ulos sejak 2013 lalu, melestarikan ulos tidak gampang karena tidak banyak orang khususnya wanita yang bisa menenun ulos. Melestarikan ulos harus dimulai dari niat hati dan pikiran yang tulus, karena setiap ulos memiliki arti khusus bagi orang Batak. (F06/R19/q)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru