Karlina Supelli menawarkan pendekatan kongkrit dan keseharian untuk mengubah kebiasaan perorangan yang berdampak pada kebaikan bersama.
"Filsafat, bagi saya, seperti menjadi jembatan antara kosmologi yang jauh di ruang-ruang senyap kosmos dengan problem sehari-hari," kata Karlina, yang lulus dengan predikat cumlaude sebagai sarjana bidang astronomi di ITB, awal 80-an.
Sebelum mendalami filsafat hingga meraih gelar Doktor, Lina - begitu sapaannya di masa kecilnya - memang dikenal sebagai ahli astronomi.
Perempuan kelahiran 15 Januari 1958 ini semula ingin menjadi ilmuwan kosmologi, dengan belajar sampai ke Inggris hingga meraih gelar Doktor di bidang tersebut.
Namun perjalanannya selama 15 tahun mendalami ilmu itu, membuatnya menjadi sangat gelisah.
"Kosmologi itu membenturkan saya pada pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan sekali, yang saya tidak bisa menjawab: bagaimana sesuatu itu bermula," kata Karlina.
Pertanyaan mendasar ini terus menggelisahkannya hingga kemudian dia mengalami sebuah peristiwa remeh, ketika dia "iseng" menggantikan temannya kuliah mata pelajaran filsafat.
"Topiknya saat itu filsafat ilmu pengetahuan. Kok menarik? Terus saya mikir: ya, sudah saya coba pelajari," kata Karlina, sambil tergelak.
Sejak 1994, Karlina kemudian terjun total pada studi filsafat, hingga meraih master dan gelar Doktor.
"Filsafat juga mengajari saya berpikir jauh lebih kritis ketimbang saya mempelajari ilmu saya sendiri," kata dosen tetap program pasca sarjana di STF Driyarkara ini.
Pidato Kebudayaan
Tenggelam sepenuhnya di bidang filsafat ilmu, "kegelisahan" Karlina ternyata tidak berakhir. Kegelisahan itu menghantuinya terus-menerus, ketika dia memperhatikan perilaku masyarakat yang disebutnya mengalami "kegagapan."
Kegagapan itu, menurutnya, terlihat dari berbagai sikap masyarakat yang terjangkiti antara lain konsumerisme, korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan hingga kebiasaan tidak berpikir serius.
"Dan, gagapnya itu karena kita tidak memahami langkah apa yang harus diambil," ujar Karlina.
Persoalan inilah, berikut pemetaaan serta jalan keluar yang dia tawarkan ("Ini hasil diskusi saya dengan teman-teman staf pengajar di STF Driyarkara," katanya), tertuang dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, pertengahan November 2016 lalu.
Dia dipilih oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menyampaikan pidato kebudayaan yang digelar tiap tahun.
Di hadapan tamu undangan yang memadati ruangan Teater Jakarta di TIM, Jakarta, Karlina menyampaikan pidato kebudayaan berjudul 'Kebudayaan dan Kegagapan Kita'.
Selama sekitar dua jam, Karlina menyampaikan peta persoalan hingga tawaran jalan keluar yang disebutnya "delapan pokok siasat kebudayaan".
Dalam pidatonya, salah-satu persoalan yang disorot Karlina adalah apa yang disebutnya sebagai "budaya komentar" di media sosial atau elektronik.
Ini merupakan salah-satu dari delapan persoalan utama yang menjangkiti masyarakat, selain permasalahan seperti konsumerisme, korupsi, minimnya komitmen dan tanggungjawab.
Menurutnya, sebagian anggota masyarakat sudah merasa hebat dengan berkomentar pendek melalui media sosial.
"Ada problem yang sangat serius, tapi ditanggapi dengan cara yang sekedar komentar-komentar pendek, tidak ada kedalaman," katanya, memberikan contoh kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi melalui media sosial Facebook atau Twitter.
Belum lagi tayangan di media elektronik tentang komentar sejumlah politisi yang terjerat kasus korupsi.
"Artinya masih (tersangka korupsi) bisa tersenyum, bisa berdandan cantik ketika ditangkap KPK. Banyak orang mengeluhkan itu. Kok tidak malu," kata Karlina, yang sesekali menekankan kalimatnya dengan menggerakkan tangannya menyentuh meja kerjanya.
Padahal, menurutnya, di sisi lain ada kenyataan lain yang lebih penting, tetapi tenggelam dalam hiruk-pikuk budaya komentar seperti itu.
"Kenyataan setiap jam dua orang ibu meninggal karena melahirkan itu lolos dari pemberitaan. Orang tidak membahasnya," katanya sambil menarik napas panjang.
Karlina mengaku memanfaatkan dunia maya untuk kepentingan riset serta berhubungan dengan dua anaknya.
Dia juga menggarisbawahi bahwa dunia maya bermanfaat pula untuk masyarakat. "Kasus Prita dan Arab spring, misalnya," ujarnya.
Namun semua itu ada batasnya, dia menekankan. "Saya bertanya pada diri sendiri: when enough is enough, kapan cukup adakah cukup, itu persoalannya."
Setelah membeberkan berbagai persoalan, Karlina dalam pidato kebudayaan itu kemudian mencoba memberikan jalan keluar yang disebutnya "bersifat kongkrit dan keseharian."
Dari hasil diskusi dengan sesama staf pengajar di STF Driyarkara, menurutnya, alternatif jalan keluarnya adalah mengubah kebiasaan sehari-hari, diantaranya dengan mengubah cara berpikir, merasa dan bertindak.
"Kalau dulu teknologi itu sekedar alat, sekarang teknologi itu menjadi tempat seluruh kegiatan hidup sehari-hari itu meletak, dan itu membentuk cara pikir, cara tindak kita," katanya, memberikan contoh.
Walaupun dia berharap "siasat kebudayaan" itu dijalankan masyarakat, menurutnya, sekelompok masyarakat sudah mengupayakan untuk mempraktekkan dalam keseharian, utamanya anak-anak muda.
"Kita melihat kelompok orang yang dengan rajin, tanpa gembar-gembor, mencoba untuk mengajak orang mengubah perilaku sampah-menyampah," ungkapnya.
Atau, ada kelompok anak-anak muda yang jauh dari hiruk pikuk politik, tapi setia sekali menangani arsip, misalnya, sehingga arsip yang tadinya kumuh ada di gudang, itu sebagai kisah Indonesia yang sangat menakjubkan.
"Makanya saya sebut juga bahwa, pada akhirnya, transformasi kebudayaan itu terjadi justru di hidup sehari-hari yang ada di luar panggung."
Karlina yang hobi membaca novel sastra, menonton film dan olah raga yoga itu, menyatakan bahwa sudah saatnya melakukan perubahan dari hal-hal kecil dan terutama dari diri sendiri.
"Mari kita mulai dengan diri kita tapi yang punya implikasi publik," kata Karlina, seraya menekankan bahwa apa yang dia tawarkan bukanlah orisinal dari dirinya semata. (BBC Indonesia/d)