Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 16 Juni 2025
Riset :

Sejak Kecil Perempuan Merasa Tak Sepintar Laki-laki

- Minggu, 05 Februari 2017 20:33 WIB
363 view
Sejak Kecil Perempuan Merasa Tak Sepintar Laki-laki
Masyarakat punya kecenderungan mengasosiasikan kecerdasan dengan pria ketimbang perempuan. Menurut para psikolog, anak perempuan punya waktu sekitar enam tahun sebelum mereka terpengaruh stereotip gender dan meragukan kecerdasan mereka. Temuan ini dipublikasikan para periset dalam jurnal Science, sebagaimana dilansir Beritagar.id, Senin (30/1).

Keyakinan pada diri sendiri bukan sekadar ide yang mengawang-awang. Banyak studi telah menunjukkan betapa perempuan yang percaya diri akan kemampuan mereka punya kecenderungan lebih besar untuk sukses.

Di sekolah maupun dalam menjalani karier, mereka lebih berani mengambil risiko. Nilai saat ujian lebih tinggi, mereka selangkah lebih maju dalam menjalani hidup.
Namun seksisme yang merebak dapat begitu mudah menghalangi para perempuan untuk sampai pada tahap percaya diri.

Salah satunya tergambar lewat studi global Organization for Economic Cooperation and Development. Mereka menemukan bahwa kurangnya rasa percaya diri perempuan akan kemampuan mereka memecahkan soal sains dan matematika, memperburuk nilai, ini akhirnya membuat mereka enggan menimba ilmu di bidang ilmu pengetahuan, teknik, teknologi dan matematika (STEM).

Setali tiga uang, sebuah studi pada 2016 juga memperlihatkan adanya kultur maskulin dalam bidang ilmu komputer dan teknik. Ini membuat kaum hawa merasa itu bukan bidang mereka.

"Ini bukan karena perempuan meremehkan gender mereka, namun lelaki punya anggapan yang berlebihan akan diri mereka," kata penulis riset Sapna Cheryan dikutip Mashable. Profesor psikologi di University of Washington tersebut menuturkan ia ingin masyarakat yakin, lelaki dan perempuan itu sama.

Nyatanya tidak demikian. Periset utama Lin Bian dari University of Illinois mengatakan, masyarakat punya kecenderungan mengasosiasikan kecerdasan dengan laki-laki ketimbang perempuan. "Anggapan ini mendorong perempuan menjauh dari pekerjaan yang dianggap memerlukan otak encer," kata Bian.

Bian dan tim riset terusik akan anggapan tersebut dan mencoba mencari tahu, apakah anak-anak juga ikut terpengaruh stereotip yang sama. Mereka lantas merekrut 400 anak berusia lima sampai tujuh tahun. Seluruh anak mengikuti empat rangkaian eksperimen.

Pada eksperimen pertama, anak-anak diceritakan kisah seseorang yang sangat pintar, lalu mereka mendengar kisah tentang empat orang yang berbeda, dua laki-laki dan dua perempuan. Pada eksperimen kedua, mereka diminta menebak, mana di antara keempat orang tersebut yang sangat pintar.

Anak-anak yang berusia lima tahun cukup berpikiran adil. Mereka percaya bahwa kedua gender sama-sama bisa menjadi orang yang sangat pintar.

Namun pada anak perempuan berusia 6 tahun, ada perubahan. Mereka cenderung tidak berpikiran bahwa perempuan bisa jadi orang yang sangat pintar dalam cerita tersebut.

Pada eksperimen ketiga, periset memperlihatkan dua permainan yang mirip pada beberapa anak usia enam dan tujuh tahun. Satu dilabeli untuk anak yang sangat pintar, sementara yang satu untuk anak yang berusaha keras.

Setelah itu masing-masing anak ditanya, permainan mana yang membuat mereka lebih tertarik. Anak perempuan dan laki-laki sama tertariknya pada permainan untuk anak yang berusaha keras. Sementara permainan untuk anak yang sangat pintar sangat tidak populer di kalangan anak perempuan.

Pada eksperimen terakhir, anak-anak diperlihatkan permainan untuk anak pintar. Kemudian mereka ditanya, tertarik bermain atau tidak. Anak-anak perempuan yang berusia 5 tahun sangat bersemangat. Namun anak perempuan 6 tahun cenderung lebih tak berminat daripada anak laki-laki seusia.

Pada penelitian sebelumnya, salah satu penulis riset, Sarah-Jane Leslie mengatakan, mereka menemukan perempuan dewasa cenderung tidak memiliki gelar yang lebih tinggi pada bidang-bidang yang dianggap membutuhkan kecerdasan lebih. Dan riset terbaru Leslie, Bian dan tim menunjukkan betapa stereotip gender ini mulai memengaruhi pilihan perempuan di usia yang begitu muda.

Bian dan tim risetnya sedang merencanakan studi yang lebih luas dan lama untuk menelusuri bagaimana stereotip seperti ini terbentuk dan melekat dalam kehidupan, juga bagaimana cara memperbaikinya. Sementara itu, menurut mereka orang tua dan guru anak-anak dapat berupaya mengubah ide bias bahwa pada dasarnya laki-laki lebih cerdas dari perempuan.

Pernah ada riset yang menunjukkan bahwa perempuan merespons dengan lebih baik apa yang disebut psikolog dengan pertumbuhan pola pikir. Idenya adalah bahwa kunci utama sukses itu belajar dan berusaha, bukan sekadar keberuntungan genetika. "Kita harus mengingatkan mereka pentingnya kerja keras dibandingkan dengan kecerdasan," tegas Bian.

Menceritakan kisah-kisah keberhasilan para perempuan juga dapat membantu melawan stereotip bahwa hanya laki-laki yang bisa masuk kategori genius. (R19/q)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru