Lamongan (SIB) -Heroik, satu kata inilah yang terlintas dalam pikiran setelah mendengar cerita veteran asal Lamongan ini. Saat itu ia sudah menjadi pejuang di usianya yang masih belia.
Namanya Kuntiyah. Meski usianya saat ini telah menginjak 84 tahun, namun ia masih ingat betul masa-masa di mana ia ikut berjuang melawan penjajah, terutama di masa Agresi Militer Belanda yang kedua.
"Saat itu saya masih berusia 12 tahun dan masuk hutan di kawasan Kedungadem, Bojonegoro, bergabung dengan para pejuang untuk mempertahankan republik," kata wanita yang disapa Bu Topo di kediamannya, Jalan Khoirulhuda Lamongan, Jumat (17/8).
Menariknya, tugas Bu Topo ini adalah menjadi pengintai. Saat itu ia harus bersembunyi di semak-semak menunggu kedatangan tentara Belanda sedangkan para tentara Republik bersembunyi untuk meledakkan jembatan ketika rombongan tentara Belanda datang.
Sembunyinya pun tak bisa bersama-sama, melainkan harus berpencar "Tak ada rasa takut sama sekali ketika itu. Yang ada hanya keberanian untuk mengusir penjajah," kata Bu Topo.
Begitu pasukan Belanda lewat, ia tinggal memberikan tanda kepada tentara Republik lalu meledakkan jembatan tersebut.
Seingat Bu Topo, ia melihat kedatangan tiga truk pasukan Belanda. Beruntung jembatan tempatnya mengintai cukup panjang sehingga ada waktu baginya untuk memberikan tanda kepada tentara Republik.
"Begitu Belanda datang, kami ledakkan jembatan dan kami mengambil senjata mereka untuk kami gunakan, setelah itu kami masuk hutan lagi," paparnya.
Tak hanya truk, Bu Topo mengaku juga pernah mengintai kedatangan pasukan Belanda yang mengendarai tank. "Yang tank ini juga tak hanya satu, tapi seingat saya ada 3 tank yang kemudian diledakkan di sebuah jembatan di kawasan Kedungadem," tuturnya.
Di usianya yang masih belia itu, Bu Topo bersama 2 perempuan seusianya juga sering keluar masuk hutan bersama para tentara Republik untuk menghadang tentara Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.
Ada juga tugas mengantarkan surat dari satu pos ke pos lainnya atau dari markas ke lokasi keberadaan pasukan tentara republik di hutan. "Tak ada yang curiga dengan kami, karena mungkin saat itu saya masih dianggap anak-anak," tutur Bu Topo.
Meski demikian, Bu Topo mengaku ikhlas menjalankan setiap tugasnya. Kendati untuk makan saja mereka harus mau seadanya, yaitu tiwul pemberian warga yang sengaja datang untuk membantu para tentara Republik.
Sayangnya setelah perang usai, Bu Topo yang kemudian melanjutkan sekolahnya kembali di Sekolah Rakyat ini mengaku tak pernah bertemu kembali dengan mereka yang dulu pernah sama-sama berjuang di hutan Bojonegoro. Bu Topo bahkan pernah berusaha mencari mereka tapi tak pernah kesampaian. "Saya pernah mendatangi rumah-rumah yang dulu ditempati teman-teman sesama pejuang, tetapi katanya mereka sudah pindah," ungkap Bu Topo.
Di usia senjanya, Bu Topo kini hanya bisa mengenang masa-masa perjuangannya ketika itu. Di Lamongan sendiri, menurut pengakuan Bu Topo, saat ini tinggal dirinya dan Bu Kasbolah yang merupakan salah satu veteran pejuang perempuan yang masih ada.
"Kami dulu berjuang agar negara ini tetap berdiri tegak dan aman sentosa," tuturnya.
Bu Topo mengaku, beberapa tahun terakhir ini mereka sudah tidak pernah diundang lagi untuk mengikuti upacara bendera peringatan hari kemerdekaan.
Padahal, aku Bu Topo, mereka yang tinggal beberapa ini tidak mengharapkan apapun saat diundang mengikuti peringatan HUT Kemerdekaan RI tersebut.
"Kami hanya ingin mengenang masa-masa ketika kami berjuang dan tidak mengharapkan lebih ketika diundang," pungkasnya. (detikcom/d)