Jakarta (SIB)
Oxfam secara global melaporkansistem ekonomi dan budayayang seksis serta eksploitatiftelah menyumbang pada ketimpangan, yang berdampak pada kelompok rentan dan turutmenyumbang ketimpangan gender.
“Meskipun koefisien yang mengukur ketimpangan agregatatas distribusi pendapatan seluruh penduduk Indonesia turun dari 0,384 di tahun 2018 menjadi 0,382 di tahun 2019 (merujuk data Badan Pusat Statistik 2020). Ketimpangan masih dialami secara berlapisoleh perempuan baik dari ranah keluarga hingga akses perempuan di ranah publik,†jelas Country Director Oxfam di Indonesia Maria Lauranti, dalam konferensi pers memperingati Hari Perempuan Internasional 2020 dengan tema ‘Setara itu Nyata’ yang digelar di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (4/3).
Lebih lanjut Maria menjelaskan,kajian Oxfam (2020) menunjukkanketimpangan laki-laki dan perempuan dalam bidang ekonomimaupun politik. Berdasarkandata BPS 2018, penduduk perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih tinggi (10%) daripada laki-laki (9%).
“Karenanya, Oxfam mendorongkepemimpinan perempuanHari Perempuan Internasional, Oxfam Dorong Kepemimpinan Perempuan Akhiri Ketimpangan Genderadalah cara untuk mengakhiri
ketimpangan yang dialami perempuan dalam keluarga. Aksesperempuan terhadap sumber daya dan partisipasi perempuan di dunia kerja,†ujar dia.
Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional 2020 ini, ia mengajak untuk menyatukan
langkah dan bersama-sama mewujudkan kesetaraan perempuanIndonesia, baik dalam keluarga,atas sumber daya, maupun dalam kepemimpinan. “Setara itu nyata, jika kita semua bersama-sama mewujudkannya,†imbuh Maria.
NIKAH USIA DINI
Berdasarkan data UNICEF 2018, sekitar 1.220.900 anak perempuan dinikahkan di bawah usia 18 tahun. Meskipun batasusia perkawinan dinaikkan, namun longgarnya rambu dispensasiperkawinan menjadikan praktik perkawinan anak masih terkendala untuk dihentikan.Sebab itu, menurut pegiat isu perkawinan anak dari KabupatenSukabumi, Jawa Barat, Rai Askaning Tyas, peran perempuanmuda dalam pencegahan perkawinan anak sangat penting.
Perkawinan anak, memposisikan perempuan di dalam wilayah domestik, apalagi ada RUU Ketahanan Keluarga yang melanggengkanbudaya patriarki.“Saya melihat, di Sukabumi,perempuan yang melakukanperkawinan di usia anak rentan mengalami kekerasan dan perceraian, bahkan harus menanggung biaya anak tanpa kontribusi suami. Perempuan terbatas akses pendidikannya, karena memikirkan biaya dan pengurusan anak.
Oleh karena itu perempuan muda penting untuk aktif dalam melakukan pencegahan perkawinananak, karena perempuan yang mengalami dampak terburuk.Perempuan harus sadar atas kerugian ini. Selayaknya perempuan harus bisa memilih usia perkawinannya sendiri†tegas Rai.
PEMBATASAN AKSES PRODUKSI PANGAN
Di Indonesia, hanya 15,88 persen dari 44 juta bidang tanah dikuasai perempuan (Data BPS 2016). Menurut peraih Female Food Hero 2016, Catur Rini, perempuan mengalami pembatasanakses terhadap sumber-sumber produksi pangan.“Perempuan sudah semestinyadilibatkan dalam proses penguasaan dan pengelolaan tanahdan sumber-sumber agraria lainnya. Padahal, setiap keluargabisa menciptakan pangan sendiri, dan perempuan memiliki peran strategis untuk hal itu,†kata dia.
“Perempuan bisa memastikanapa saja bahan makanan yang diberikan pada keluarga, selain itu perempuan dapat memperoleh penghasilan dari pertanian kota. Lebih dari itu, perempuan menjadi punya kebanggaandiri karena memiliki penghasilan sendiri, serta posisi tawar yang lebih setara dengan suami,†tambah Catur.
Bukan hanya terhadap akses pangan, partisipasi perempuan muda di dunia kerja berkontribusi menurunkan ketimpangan berlapis
bagi perempuan.Bagi perempuan, kesenjanganpekerjaan terjadi bahkan sejak usia remaja. Data BPS 2019 kembali menunjukkan rata-rata presentasi penduduk perempuan yang bekerja sejak usia 20-34 tahun lebih kecil (38% ) ketimbang laki-laki (62%), di mana partisipasi terkecil dialami 635.110 perempuan dengan kelompokusia 20-24 tahun.
Di kabupaten Maros, SulawesiSelatan, masih banyak praktik anak perempuan dinikahkan di usia 14 â€" 15 tahun. Bahkan Monita (Duta Muda, Berdaya, dan Berkarya dari Kabupaten Maros) hampir dinikahkan pada usia 17 tahun, namun dia menolakdengan alasan mau melanjutkansekolah.
Di desa Monita, masih ada hanya 50 persen anak perempuanyang bisa bersekolah sampaiSMA. Jika dalam keluarga ada anak laki-laki dan perempuan,maka anak laki-laki yang diutamakan untuk bersekolah.
“Kembali ke kultur daerah saya, perempuan masih ditempatkandi kasur, sumur, dan dapursehingga sulit untuk ikut berorganisasi.Saya ingin menjadi orang bermanfaat, dan untuk itu harus punya pengaruh bagi orang lain.
Perempuan harus punya sumber ekonomi sendiri, karena dengan itu kita menjadi lebih setara dengan laki-laki. Serta bisa mengembangkan ide-ide untuk mewujudkan potensiperempuan muda,†kata Monita. (J03/Victor/c)